Kamis, 29 Maret 2012

PERKEMBANGAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA



PENDAHULUAN
Perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah mengalami pasang surut mulai sejak jaman kolonial Belanda sampai saat ini. Pengaruh kekuasaaan regim tampaknya menjadi salah satu elemen yang turut mempengaruhi pasang surutnya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Oleh karena itu bentuk, dimensi dan derajat desentralisasi dan otonomi daerah pun selalu berbeda-beda sesuai dengan keinginan regim yang berkuasa pada zamannya.
Submodul 4 ini membahas mengenai perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, mulai dari masa penjajahan Hindia Belanda sampai masa sekarang. Uraian dilakukan berdasarkan kronologis berdasarkan masa kekuasaan regim yang menandai jarak waktu perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.
Dengan demikian setalah mempelajari modul 4 ini pembaca diharapkan dapat memahami perkembangan konsep dan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia mulai dari:
1.        Masa penjajahan (Belanda dan Jepang),
2.        Masa Orde Lama yaitu; a) masa revolusi kemerdekaan (1945 – 1949), b) masa demokrasi liberal (1950 – 1959), c) masa demokrasi terpimpin (1959 – 1965).
3.        Masa Orde Baru (1965 – 1998),
4.        Masa Reformasi (1999 – sekarang).





Masa Penjajahan

Masa Penjajahan Belanda
Sejarah perpolitikan di Indonesia tidak bisa terlepas dari masa dimana Indoensia mengalami penjajahan, terutama di masa penjajahan Belanda. Karena itu sistem pemerintahan pun tidak bisa terlepas dari sejarah dimana Indonesia mengalami masa penjajahan tersebut. Pada masa penjajahan Belanda, sistem pemerintahan di Indonesia telah dikenal dan diakui adanya sistem pemerintahan daerah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya undang-undang ketatanegaraan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan sebutan reglement op het beleid der regering van nederlandsch indie (stb 1885/2), undang-undang ini sebenarnya bukan mengenai desentralisasi akan tetapi lebih kepada sistem desentralisasi, tetapi dalam undang-undang ini berisi tentang dekonsentrasi yang merupakan salah satu bentuk desentralisasi itu. Disamping itu, pada masa itu telah dikenal wilayah-wilayah administratif, misalnya Jawa yang secara hierarkis dikenal dengan gewest (yang kemudian disebut residentie), afdeeling district, dan onderdistrict.
 Pada tahun 1903 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan decentralisatie wet (Staastblaad No. 329 tahun 1903) yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan (gewest) yang mempunyai sistem keuangan sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada sebuah raad atau dewan di masing-masing daerah. Decentralisatie wet ini kemudian diperkuat dengan decentralisatiebesluit (S 137/1905) dan locale radenordonannti (S 181/1905) yang menjadi undang-undang terbentuknya locale ressort dan locale raad. Akan tetapi pemerintah daerah hampir tidak mempunyai kewenangan, dan bahkan anggota raad sebagiannya diangkat, dan sebagian lagi merupakan pejabat pemerintah. dan beberapa anggota yang dipilih. Hanya raad ditingkat gementee yang dipilih. Dewan daerah atau locale raad memang berhak menentukan peraturan setempat (locale verondeningen) yang menyangkut hal-hal yang belum diatur oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengawasan terhadap pemerintah setempat dilaksanakan sepenuhnya oleh gouveneu general (gubernur jenderal) Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia (Yusoff dan Yusron, 2007; 100-101).
Kemudian pada tahun 1922 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang – undang baru yang bernama wet op de bestuurhevormin (S.216/1922). Dengan ketentuan perundang-undangan yang baru ini maka dibentuklah sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale resort. Pembentukan sejumlah daerah dilakukan dengan dikeluarkannya ordonantie seperti ordonantie pembentukan provincie Jawa-Madura, provincie West Java, regentschap Batavia. Sementara pulau-pulau di luar Jawa Madura dibentuk melalui groepmeneenschap ordonant. Sehari-hari pemerintahan dijalankan oleh gouveneur untuk provincie, regent di regenschap, dan burgermeester di gemeente. (Yusoff dan Yusron, 2007; 102)
Selain pembentukan pemerintahan yang baru tersebut, terdapat pula pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat daerah setempat yang oleh banyak kalangan disebut zelfbestuurende lanschappen, yakni persekutuan masyarakat adat yang olah pemerintah kolonial Belanda tetap diakuai keberadaanya, seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, nagori di Rantau Kuatan (Riau), ratin dan penghulu di Siak, subak di Bali, marga di Sumatera Selatan, lembang di Toraja dan lain – lain di beberapa pulau di daerah jajahan Hindia Belanda. Untuk desa di Jawa diatur dengan inlandsche gemmente-ordinantie (S.83/1906) atau IGO, dan untuk masyarakat adat di luar Jawa diatu dengan inlandsche gemmente-ordinantie buitengewesten (IS. 506/1931) atau IGOB. Untuk desa-desa di luar Jawa kemudian diatur lebih lanjut degan desa ordinantie (S.356/1941) yang kemudian tidak terlaksana karena terjadinya Perang Dunia II (The Liang Gie, 1993; 18 -19).

Masa Penjajahan Jepang
Berakhirnya desentralisasi dan otonomi daerah masa penjajahan Belanda ditandai dengan tergantinya regim kolonialisme Hindia Belanda oleh Jepang.hal ini dapat dijelaskan melalui berbagai perubahan bentuk pemerintahan yang telah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda oleh pemerintahan Jepang dengan perubahan yang mendasar seperti struktur pemerintahan sebelum masuknya Jepang terdiri atas Gubernur Jenderal, Gubernur, Residen dan Controleur, kasunan, Bupati, Wedana dan Asisten Wedana, kemudian diubah menjadi struktur yang bersifat teritorial yang dibagi kedlam tiga komando oleh pemerintahan Jepang, yaitu:
a.         Sumatera dibawah komando Panglima angkatan darat XXV yang berkedudukan di Bukittinggi;
b.        Jawa dan Madura berada dibawah komando panglima angkatan darat XVI yang berkedudukan di Jakarta;
c.         Daerah lainnya berada dibawah komando panglima angkatan laut yang berkedudukan di Makassar.
Hirarki komando utama adalah Gunseireiken/Saiko Sikkan (panglima besar yang sejajar dengan gubernur jenderal) dan yang mengeluarkan peraturan-peraturan disebut Osamu Seirei dan Gunseiken (pembesar pemerintahan). Di wilayah komando Jawa – Madura Gunseireiken mengeluarkan Osamu Seirei 1942/27 tentang tata pemerintahan daerah, dengan membagi Jawa kedalam beberapa Syuu (dikepalai Syuutyookan) kemudian Syuu dibagi kedalam beberapa Ken (yang dikepalai oleh Kentyoo), Ken dibagi kedalam beberapa Si (yang dikepalai Sityoo). Struktur tersebut menghilangkan gubernur dan parlemen. Struktur pemerintahan yang dibangun Jepang tersebut dalam rangka kepentingan militer Jepang di Indonesia yang sewaktu-waktu dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan militer Jepang (Yusoff dan Yusron, 2007; 105).



Masa Orde Lama

Masa Revolusi Kemerdekaan (1945 – 1949).
Salah satu masa yang paling penting untuk dicatat dalam perkembangan politik dan pemerintahan Negara kesatuan republik Indonesia adalah masa revolusi kemerdekaan antara tahun 1945 sampai dengan 1949. Urgensinya adalah bahwa pada masa ini pemerintah Indonesia belum dapat menjalankan secara penuh otoritasnya dalam mengatur dan menjalankan sistem pemerintahannya, karena pengakuan kedaulatan secara penuh baru diperoleh melalui Perjanjian Meja Bundar  pada tahun 1949, dimana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bekas jajahan Hindia Belanda. Yang paling penting saat itu adalah bagaimana memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi walaupun pada masa ini pemerintah Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik dalam rangka memperkuat NKRI, tetapi justru yang paling pertma dipikirkan adalah bagimana mengatur pemerintahan daerah dalam bingkai NKRI. Itulah sebabnya sehingga undang-undang pertama yang dibuat pada saat itu setelah UUD 1945 adalah  UU No. 1 tahun 1945 yang mengatur pemerintahan daerah yang hanya berisi 6 pasal dengan tanpa adanya penjelasan.
UU No. 1 tahun 1945 menetapkan adanya 3 jenis daerah otonom (tampa menyebut otoritas masing-masing daerah), yaitu 1) keresidenan; 2) kabupaten; dan 3) kota berotonomi. Sedangkan provinsi yang berjumlah 8 berdasarkan penetapan Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) hanya diarahkan berbentuk daerah administratif tanpa otonomi. Dalam perkembangannya, khusus wilayah provinsi Sumatera berubah menjadi daerah otonom berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 8 tahun 1947. Menurut ketentuan menteri dalam negeri, komite nasional daerah menjadi badan perwakilan rakyat daerah dan bersama-sama dengan kepala daerah menjalankan pemerintahan daerah.
Undang – Undang kedua setelah merdeka yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia dalah UU No. 22 tahun 1948. Undang-undang ini menganut sistem otonomi material, artinya undang-undang menentukan secara rinci kewajiban (otoritas) apa saja yang diberikan dari pemerintah pusat kepada daerah, di luar daripada itu menjadi otoritas pemerintah pusat. dalam undang-undang nomor 22 tahun 1948 ini telah dikenal tiga tingkatan daerah yaitu; (i) Provinsi atau daerah tingkat I, (ii) kabupaten dan kota besar sebagai daerah tingkat II; dan (iii) desa atau kota kecil (negeri, marga, lembang) sebagai daerah tingkat III.

Masa Demokrasi Liberal (1950 – 1959).
Babak kedua dalam perkembanngan sistem pemerintahan di Indonesia, khususnya hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah adalah masa demokrasi liberal. Pada masa ini sistem poltik yang dianut oleh Indonesia adalah sistem yang memberi haluan yang besar kepada kekuatan politik, diakui keberadaanya dan turut menentukan kebijakan. Indikasi sistem politik leiberal ditandai oleh beberapa hal diantaranya adalah; (i) dianutnya sistem multi partai, (ii) pengakuan dan kebebasan kepada semua kelompok idiologis memebentuk partai atau kekuatan politik tertentu, dan (iii) dianutnya sistem parlementer dengan pengakuan adanya kelompok oposisi dalam sistem politik dan pemerintahan.
Pada masa tersebut kembali pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok – pokok pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengalami penyesuaian dari undang-undang sebelumnya. Tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini dianut istilah baru dalam sistem pemerintahan daerah yaitu apa yang disebut dengan  daerah swantara sebagai suatu kategorisasi dalam pemerintahan daerah. Dalam UU No. 1 tahun 1957 ini yang disebut dengan daerag swantara adalah daerah yang berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian pada masa ini dikenal juga tiga tingkatan pemerintahan daerah yaitu; (i) daerah swantara tingkat I, (ii) daerah swantara  tingkat II, dan (iii) derah swantara tingkat III. Adapun wilayah administratif daerah berdasarkan sebutan swantara bertingkat disesuaikan dengan tingkatan dalam UU No. 22/1948).
Perbedaan utama antara UU No. 1 tahun 1957 dengan UU No. 22 tahun 1948 adalah pada subtansi pemberian otonomi kepada daerah. UU. No. 22 tahun 1948 memberikan otonomi materil kepada daerah, artinya otnomi yang dirinci sedemikian rupa sehingga jelas kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah dan selebihnya adalah urusan pemerintah pusat. Sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1957 tidak merinci secara mendalam apa saja yang menjadi kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah, tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini sudah dikenal otonomi yang nyata dan seluas-luasnya.

Masa Demokrasi Terpimpin (1960 – 1965)
Masa demokrasi terpimpin ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959, sebagai tanda berakhirnya UUDS 1950, serta berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya kembali UUD 945 menandai kembalinya era pemerintahan presidensil dengan kewenangan besar ada ditangan presiden. Dengan kewengan yang dipegangnya, presiden Soekarno kemudian menetapkan undang-undang operasional pemerintahan menjadi revolusioner dengan berbagai simbol-simbol perjuangan seperti manifesto politik. Untuk mencapai tujuan politiknya, Soekarno melakukan konsolidasi secara internal melalui penyesuaian-penyesuaian struktur pemerintahan dari pusat sampai daerah. Dalam konteks konsolidasi tersebut Soekarno kemuadian menerbitkan dua peraturan yaitu Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan penetapan Presiden No. 5 tahun 1960.
Salah satu yang mendapatkan perhatian dari Presiden Soekarno setelah memegang teraju pemerintahan adalah mereposisi hubungan pusat dan daerah, yakni dengan mencabut UU No. 1 tahun 1957 dan menetapkan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan No. 5 tahun 1960. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan adalah bahwa UU No. 1 tahun 1957 dianggap produk dari sistem yang liberal dan kenyataanya tidak sesuai dengan kehidupan politik yang berkembang dalam konteks demokrasi terpimpin (Affan Gaffar et.al, 2002; 103).
Penetapan presiden No. 6 tahun 1959 mengatur tugas dan fungsi kepala derah serta Badan Pemeriksa Harian (BPH), sedangkan Penetapan Presiden no. 5 tahun 1960 mengatur tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat daerah Gotong Royong (DPRGR). Berdasarkan Penetapan Presiden no. 6 tahun 1959, kepala daerah diberi status pegawai negara dan pengangkatannya ditunjuk oleh presiden. Dengan demikian maka kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRGR melainkan kepada Presiden melalui menteri dalam negeri. Sementara itu tugas dan fungsi DPRDR adalah bersama-sama dengan kepala daerah menetapkan peraturan daerah. Kedua penetapan presiden tersebut masih menganut tiga tingkatan pemerintahan daerah, masing-masing: (i) daerah tingkat I, (ii) daerah tingkat II, dan (iii) daerah tingkat III.







Masa Orde Baru & Reformasi
Otonomi Daerah Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.        Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2.        Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;
3.        Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat
Otonomi Daerah Masa Reformasi
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu ,
  1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
  2. pembentukan negara federal; atau
  3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
  1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
  2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
  3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
  6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
  7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
  8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
  9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
  10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
  11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
  12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
  13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
  14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
  15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD

4 komentar:

pak muliadi mengatakan...

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


Unknown mengatakan...

terimakasih, isinya membantu sekali buat belajar, tapi mata cepet lelah buat baca soalnya background sama font kurang sesuai, that's all materi oke punya (:

Syaframdhanty mengatakan...

Terimakasih banyak, karna dapat membantu saya mengerjakan tugas disaat pikiran saya sudah buntu😁

Unknown mengatakan...

Terimakasih banyak. saya sangat terbantu karena tulisan anda

Posting Komentar