Kamis, 29 Maret 2012

OTONOMI DAERAH, KEPEMILIKAN, PENGELOLAAN KEKAYAAN DAN PERIMBANGAN KEUANGAN



PENDAHULUAN
             Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai bagian kesatuan dari sistem pemerintahan nasional dilaksanakan melalui prinsip otonomi daerah, antara lain melalui pengaturan alokasi sumber daya negara yang dapat memberi kesempatan bagi peningkatan kinerja daerah dalam penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publiknya. Sebagai darerah otonom yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka kepadanya diberikan sumber-sumber pendapatan keuangan untuk dapat membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Pemberian sumber-sumber pendapatan dan keuangan dimaksud secara proporsional dapat diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah diperoleh berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Meskipun dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dianut asas desentralisasi yang membagi tugas dan wewenang kepada daerah, akan tetapi dalam konteks negara kesatuan tanggungjawab akhir terhadap kinerjanya tetap ada pada Pemerintah Pusat. Hal ini dapat dimengerti mengingat masing-masing daerah mempunyai karakteristik dan potensi yang berbeda-beda, sehingga peranan Pemerintah Pusat dalam memeratakan pembangunan sangat dibutuhkan, agar kesenjangan antara daerah dapat diperkecil. Pemerataan pembangunan yang merupakan salah satu prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan bertambah penting artinya agar supaya pertumbuhan masing-masing dan antar daerah dapat berkembang secara sinergis. Disamping itu, secara universal pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik, fungsi distribusi meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat serta aspek-aspek pemerataan, dan fungsi stabilisasi yang meliputi pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, karena pemerintah daerah merupakan instansi yang paling efektif mengetahui kebutuhan serta standard dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang diharapkan oleh masyarakat.
Maka setalah mempelajari Submodul 6 ini pembaca dapat memahami tentang:
1.        Otonomi daerah dan hak untuk memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas.
2.    Kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dari waktu ke waktu.





Otonomi Daerah dan Hak Memiliki & Mengelola Kekayaan Sendiri


Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah menuju kemandirian lokal, maka di dalam upaya mereform perundang-undangan tentang otonomi daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah membawa nuansa dan paradigma baru yang jauh berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya. Dengan demikian diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya, terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Sumber pembiayaan dalam rangka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sumber pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79 telah memberikan landasan yuridis tentang pemberian sumber pendapatan daerah dapat dibagi kedalam 4 golongan , yaitu :

1)      Pendapatan Asli Daerah, yaitu :
(a)    Hasil pajak daerah
(b)   Hasil retribusi daerah
(c)    Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan   daerah yang dipisahkan, dan
(d)   Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.
2)      Dana perimbangan
3)      Pinjaman Daerah, dan
4)      Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79).

1.   Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber-sumber yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya yaitu PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Untuk mendorong efisiensi, maka Undang-Undang mengenai pajak dan retribusi ini (dikenal sebagai Undang-Undang PDRB) memberikan suatu penyederhanaan atas banyaknya jenis pajak dan retribusi di masa lalu yang cenderung mengakibatkan timbulnya biaya ekonomi yang tinggi. Berdasarkan Undang-Undang ini, jumlah pajak dan retribusi daerah relatif  berkurang.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih belum diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi dikarenakan beberapa hal sebagai berikut :

a)      Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah;
b)      Peranannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah;
c)   Kemampuan perencanaan dan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah sehingga cenderung pemungutan pajak dibebani oleh biaya pungut yang besar.
d) Pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan penerimaan daerah mengalami kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
2.       Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaana APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya jumlah dana perimbangan ini ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Hal ini sejalan dengan tujuan pokok dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,   yaitu memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah ; menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan berupaya mewuijudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi daerah, mengurangi kesenjangan antara daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggungjawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Menyangkut soal dana perimbangan, ditetapkan atas dasar perhitungan prosentase tertentu dari seluruh realisasi penerimaan dalam negeri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 80, dana perimbangan terdiri dari :
a)     Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea  perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber  daya alam;
b)      Dana Alokasi Umum; dan
c)      Dana Alokasi Khusus.

a).  Bagi Hasil Penerimaan Negara
Bagi hasil penerimaan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan Pajak yang dikenakan atas Bumi dan Bangunan. Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Yang menjadi objek pajaknya adalah Bumi dan/atau bangunan. Pengertian Bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, sedangkan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dalam imbangan 10 % (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90 % (sembilan puluh persen) untuk Daerah. Selanjutnya 10 % (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagian pemerintah pusat sebagaimana pembagian diatas dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
Alokasi pembagian ini didasarkan atas realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun anggaran berjalan. Besarnya alokasi pembagian tersebut diatur sebagai berikut : Bahwa 65 % (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata dengan porsi yang sama besar kepada seluruh Kabupaten dan Kota, kemudian 35 % (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada Kabupaten dan Kota yang realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan perkotaan berhasil melampaui rencana penerimaan yang telah ditetapkan pada Tahun Anggaran sebelumnya.



Bea perolehyan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Tarif pajaknya adalah 5 % dari dasar pengenaan pajak yaitu Nilai Perolehan Objek Pajak. Perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Kemudian Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80 % (delapan puluh persen) untuk Daerah. Selanjutnya bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 80 % di atas di bagi untuk daerah dengahn rincian bahwa 16 % (enam belas persen) untuk daerah Provinsi yang bersangkutan disalurkan ke rekening Kas Daerah Provinsi, dan 64 % (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan ke rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota untuk pemerataan 10 % (sepuluh persen) dari penerimaan PBB dan 20 % (dua puluh persen) dari BPHTB.

Selanjutnya yang dimaksud dengan Bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian daerah dari penerimaan negara yang berasal dari pengtelolaan sumber daya alam, antara lain di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas bumi, kehutanan, dan perikanan. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80 % (delapan puluh persen) untuk Daerah.
Sedangkan Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :
a)      Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85 % (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah.

b)      Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70 % (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah.


Bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan yang diterima dari Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut :
1)      Sektor Kehutanan dibagi sebagai berikut :
a)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan dibagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
b)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Provinsi Sumber Daya Hutan di bagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen);
(c)    Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 32 % (tiga puluh dua persen).


2)      Sektor Pertambangan Umum dibagi sebagai berikut :
a)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) di bagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen)
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
b)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (royalty) dibagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen);
(c)    Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 32 % (tiga puluh dua persen).

3)      Sektor Perikanan
Sebanyak 80 % (delapan puluh persen) dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor perikanan terdiri dari :
a.       Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan
b.      Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Minyak Bumi diperinci sebagai berikut.
a)      Bagian Provinsi yang bersangkutan sebesar 3 % (tiga persen);
b)      Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 6 % (enam persen);
c)      Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen).
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Gas Alam dibagi dengan perincian sebagai berikut :
a)      Bagian Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen);
b)      Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12 % (dua belas persen);
c)      Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 12 % (dua belas persen).
Lebih jauh pengaturan kedua sumber Penerimaan Negara ini yang menjadi porsi Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota. Dengan perkataan lain bahwa secara nominal kedua sumber penerimaan ini seluruhnya milik daerah, walaupun ada intervensi Pemerintah Pusat dalam skala yang relatif kecil sebagai penyangga keseimbangan penerimaan antar daerah. Bagi hasil penerimaan negara dari sumber daya alam secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini :




Tabel 5.7. Persentase Alokasi Bagi Hasil Penerimaan dari Sumber Daya Alam.
Sumber Daya Alam
Pusat
Propinsi
Kab/Kota
Penghasil
Kab/Kota
Lainnya
Minyak
85 %
3 %
6 %
6 %
Gas Alam
70 %
6 %
12 %
12 %
Pertambangan Umum: Iuran Tetap (Land-rent)
20 %
16 %
64 %
0 %
Pertambangan Umum: Iuran Explorasi dan Exploitasi (Royalti)
20 %
16 %
32 %
32 %
Hutan: Iuran Hasil Pengusahaan Hutan (IHPH)
20 %
16 %
64 %

Hutan: Provinsi Sumber Daya Hutan (SDH)
20 %
16 %
32 %
32 %
Perikanan: Pungutan Pengusahaan dan Hasil Perikanan
20 %

80 %

Sumber: Undang-undang No.25 Tahun 1999

Sumber penerimaan daerah dari bagi hasil memang secara explisit telah ditujukan gambaran nominalnya dalam bentuk persentase. Berdasarkan rumusan yang demikian posisi masing-masing daerah otonom sebetulnya pada pengkajian terukur terhadap sumber-sumber penerimaan. Melalui gambaran demikian, paling tidak setelah diberlakukannya Undang-Undang secara langsung dapat terdeteksi konstribusi penerimaan daerah otonom dari sumber-sumber ini dalam konteks fiskal daerah. Lebih jauh yang menjadi pertanyaan adalah melalui prinsip alokasi dana berdasarkan daerah penghasil seperti itu tentu akan sangat bervariatif dampaknya kepada masing-masing daerah otonom. Daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang signifikan seperti Kalimantan Timur, Riau, Irian Jaya, Aceh, dan lainnya tentu akan memiliki alokasi yang besar yang memang telah dijaminkan dalam Undang-Undang persentase keberadaannya. Bagi daerah yang “kurang” potensi sumber daya alam memang akan berdampak cukup serius pada posisi fiskal daerah, khususnya dari sisi penerimaan (revenue side-nya). Melalui Undanag-Undang Nomor 25 Tahun 1999, kondisi yang demikian akan dikompensasi melalui dana perimbangan yang berupa alokasi umum, disamping juga dana alokasi khusus.



Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah


Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka Desentralisasi. Penggunaan Dana Alokasi umum ini ditetapkan sepenuhnya oleh daerah. Termasuk didalam pengertian pemerataan kemampuan keuangan daerah adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat, dan merupakan satu kesatuan dan penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Penggunaan Dana Alokasi Umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD, harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada Daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan dibidang kesehatan dan pendidikan.
Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.
Yang menjadi isu pokok dalam sistem alokasi dana perimbangan, sekaligus sebagai titik tolak yang sangat penting dari setiap bahasan materi dana perimbangan, adalah pada sistem yang kedua, yaitu bagaimana menentukan nilai besaran bobot daerah dalam memperoleh dana perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya untuk perimbangan dana Alokasi Umum untuk masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang dari Penerimaan dalam Negeri Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Secara operasional Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengamanatkan bahwa penentuan terhadap nilai besaran bobot daerah dilaksanakan berdasarkan hasil kajian empiris dengan memperhitungkan beberapa variabel-variabel yang relevan, antara lain adalah:
1.  Variabel Fiskal Needs, untuk kebutuhan wilayah otonomi, daerah dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan beberapa kelompok masyarakat miskin.
2.    Variabel Fiskal Capacity, potensi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima daerah seperti potensi industri, potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, dan Produk Domestik Bruto.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memang belum secara eksplisit mengatur bagaimana mekanisme detail sampai kebesaran nominal sistem alokasi dana ini. Pengalokasian dana alokasi umujm dilaksanakan melalui kajian empiris terhadap sistem pengalokasian sumber-sumber keuangan daerah dari dana perimbangan dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah serta penyelenggaraan pemerintahan daerah yang adil, rasional dan transparan, serta mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggungjawab otonominya serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan. Tujuan pengkajian adalah untuk menghimpun dan menganalisa data dan informasi tentang sejumlah kebutuhan dan potensi daerah sehingga dapat diperoleh rumusan empiris terhadap perhitungan bobot masing-masing daerah otonom (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam penerapan sistem pengalokasian dana perimbangan yang bersumber dari Alokasi Umum. Lebih jauh dari hasil kajian diharapkan tersusunnya suatu sistem pengalokasian dana perimbangan untuk Alokasi Umum untuk daerah yang adil, rasional, transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab (akuntabel) sehingga kesenjangan tingkat kemakmuran antar daerah (regional disparities) dapat diperkecil. Operasionalisasinya akan merupakan “PR” daerah dan pusat melalui Dewan pertimbangan Otonom Daerah (DPOD).
Penentuan nominal alokasi dana perimbangan untuk dana Alokasi Umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 telah dirumuskan sekurang-kurangnnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dari 25% tersebut untuk dana alokasi umum daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90%. Besaran nominal dari setiap masing-masing daerah akan berbeda. Perbedaan besaran tersebut ditentukan oleh nilai bobot daerah berdasarkan variabel-variabel kebutuhan dan potensi daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, perhitungan dana Alokasi Umum dapat diformulasikan secara umum dengan rumusan berikut ini.
Dana Alokasi Umum untuk satu Provinsi tertentu dihitung dengan cara berikut ini:
DAUP X bt.Px/bt Py, dimana
Jumlah dana alokasi umum untuk Daerah Provinsi dikalikan dengan bobot daerah Provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot dari seluruh Daerah Provinsi.
DAUP               : Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi (APBN)
Bt.Px                 : Bobot daerah Provinsi (x)
Bt.Py                 : Bobot dari seluruh Daerah Provinsi (y)
Melalui pendekatan yang sama, dana alokasi umum untuk satu Daerah Kabupaten/Kota tertentu dihitung dengan cara:
DAUK X bt.Kx/bt Ky, dimana
Jumlah dana alokasi umum untuk Daerah Kabupaten/Kota dikalikan dengan bobot daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot dari seluruh Daerah Kabupaten/Kota.
DAUK              : Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota (APBN)
Bt.Px                 : Bobot Daerah Kabupaten (x)
Bt.Py                 : Bobot dari seluruh Daerah Kabupaten (y)
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, Pengkajian Sistem Alokasi Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah selayaknya difokuskan untuk perimbangan pada Dana Alokasi Umum, yaitu melalui data time-series ekonomi dan keuangan daerah secara kuantitatif yang diambil dari masing-masing daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai gambaran empiris perhitungan, sehingga dapat disusun beberapa skenario besaran nilai “bobot daerah” dengan memperhitungkan variabel-variabelnya. Penentuan variabel Dana Alokasi Umum dalam kajian empiris yang seharusnya juga daerah berkonstribusi secara proaktif, antara lain meliputi:
1.      Data keadaan geografis daerah otonom
2.      Data keadaan perekonomian dan perkembangannya, terutama tentang rincian agregat Produk Domestik Regional Bruto (baik per-sektor maupun per-daerah) misalnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
3.   Data keadaan Pendapatan Asli Daerah dalam kurun waktu lima tahun terakhir, data keadaan luas wilayah, panjang jalan negara, panjang jalan Kabupaten/Kotamadya, jumlah pulau, dan data lainnya yang berkaitan dengan objek kajian.
4.   Data keadaan kependudukan/jumlah penduduk yang akan dikelompokkan dalam klasifikasi penduduk produktif dan non produktif serta tingkat pendapatan masyarakat dari sektor perekonomian antara lain industri dengan varian-variannya dan pertanian dalam arti luas dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
5.   Data jumlah wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten/Kotamadya, Kelurahan, Kecamatan dan Desa serta data lainnya yang berkaitan dengan wilayah yuridiksi daerah otonom.
Pengkajian seperti yang dipra-syaratkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 selayaknya menggunakan analisa empiris variabel penentu. Alokasi Umum Dana Perimbangan dari data time-series yang telah terkumpul pada tingkat daerah maupun pusat, yang diperhitungkan secara kuantitatif melalui gambaran tentang kebutuhan dan sumber potensi yang ada di daerah dalam hubungannya dengan dana perimbangan antara pusat dan daerah, serta menganalisis hasil perhitungan kebutuhan dan potensi daerah secara kuantitatif untuk menent ukan jumlah nilai besaran bobt daerah berdasarkan perhitungan variabel-variabel yang telah ditentukan. Data yang dibutuhkan untuk kegiatan pengkajian seperti ini mencakup data kondisi sosial ekonomi wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang akan dikumpulkan secara sekunder, melalui penggunaan publikasi-publikasi daerah dan nasional serta sumber lainnya yang dianggap relevan. Disamping data sekunder, untuk memperluas cakrawala rumusan, juga diperlukan data primer sebagai data analisis tentang persepsi “stake-holders” daerah dari objek kajian. Komponen keluaran yang harus ditargetkan paling tidak untuk kegiatan pengkajian sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 seperti yang telah diuraikan sebelumnya antara lain dapat diperinci sebagai berikut:
a.   Disain model perhitungan bobot besaran penentuan sistem Dana Perimbangan untuk Alokasi Umum masing-masing daerah ototnom (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
b.    Paket perhitungan aplikasi bobot besaran penentuan Dana Perimbangan untuk Alokasi Umum masing-masing daerah otonom (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai bahan masukan kebijakan bagi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, khususnya Sekretariat Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penetapan Alokasi Umum Dana Perimbangan untuk masing-masing daerah otonom.
c.   Paket-paket pemutakhiran model sebagai bagian dari kegiatan pengembangan yang akan dilakukan sebagai komponen keluaran lanjutan sebagai masukan pada tahun-tahun berikutnya bagi Dewan Pertimbangan Otonomi daerah yang membidani Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) berfungsi pemerataan antar Daerah dengan tujuan semua Daerah memiliki kemampuan yang relatif sama untuk membiayai pengeluarannya dalam pelaksanaan azas desentralisasi. Dana alokasi umum dialokasikan berdasarkan suatu rumus yang memasukkan unsur potensi penerimaan Daerah dan kebutuhan objektif pengeluaran Daerah, dan dengan memperhatikan ketersediaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah dana Alokasi Umum ditetapkan minimal 25 % (dua puluh lima persen) dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan ketentuan 90 % (sembilan puluh persen) untuk Kabupaten/Kota dan 10 % (sepuluh persen) untuk Provinsi. Perhitungan dana alokasi tersebut dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.
Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, disesuaikan dengan perubahan tersebut.
Dalam memperhitungkan dana alokasi umum untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota, akan digunakan kriteria potensi daerah dan kebutuhan objektif daerah. Kriteria daerah ditetapkan berdasarkan :
a)  Kebutuhan wilayah otonomi daerah paling tidak dapat dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin;
b)    Potensi Ekonomi Daerah antara lain dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima Daerah seperti potensi industri, potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Jadi Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan peerkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Provinsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan porsi Daerah Provinsi yang bersangkutan. Porsi Daerah Provinsi termaksud merupakan proporsi bobot daerah Provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Provinsi di seluruh Indonesia.
Hasil perhitungan Dana Alokasi Umum untuk tahun 2001 ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2001. Besarnya DAU daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/kota tahun anggaran 2001 adalah Rp.60.516,70 miliar.
Sedangkan tahun 2002 juga ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002. Besarnya DAU untuk tahun anggaran 2002 ditetapkan sebesar 25 % dari penerimaan Dalam Negeri APBN Tahun anggaran 2002 setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah.
Besarnya DAU daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota tahun anggaran 2002 adalah Rp. 69.114,12 miliar. Kemudian besarnya DAU Untuk Provinsi Sulawesi Selatan adalah Rp. 3.561,67 miliar, sedangkan untuk Kota Makassar sebesar Rp. 274.48 miliar, Kabupaten Gowa sebesar Rp.173,91 miliar, Kabupaten Maros sebesar Rp.127,5 miliar dan Kabupaten Enrekang sebesar Rp.101,97 miliar.

Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana  Alokasi Khusus (DAK) adalah dana perimbangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus atau kebutuhan tertentu. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
Dana Alokasi Khusus merupakan bagian dari dana perimbangan sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Yang dimaksudkan dengan Daerah tertentu adalah daerah-daerah yang mempunyai kebutuhan yang bersifat khusus. Pengalokasian Dana Alokasi Khusus memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN berarti bahwa besaran Dana Alokasi Khusus tidak dapat dipastikan setiap tahunnya.
Dengan demikian, sejalan dengan tujuan pokoknya dana perimbangan dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Pembiayaan kebutuhan khusus disyaratkan dana pendamping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kabutuhan khusus yang dimaksud disini adalah :
a)      Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus, antara lain kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain misalnya kebutuhan dikawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, misalnya pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan atau
b)      Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, termasuk antara lain proyek yang dibiayai donor, pembiayaan reboisasi Daerah dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Dana Alokasi Khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Dalam keadaan tertentu Dana Alokasi Khusus dapat membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 tahun.
Kriteria teknis sektor/kegiatan yajng dapat dibiayai dari Dana Alokasi Khusus ditetapkan oleh Menteri Teknis/instansi terkait setelah berkonsultasi dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Sektor/kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari Dana Alokasi Khusus adalah biaya administrasi, biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan pegawai daerah dan lain-lain biaya umum sejenis.
Penerimaan negara yang berasal dari Dana Reboisasi sebesar 40 % (empat puluh persen) disediakan kepada Daerah penghasil sebagai bagian Dana Alokasi Khusus untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Jumlah Dana Alokasi Khusus ditetapkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan masing-masing bidang pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Dana Alokasi Khusus dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan kegiatan, dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada Menteri Teknis oleh daerah tersebut dapat berbentuk rencana suatu proyek atau kegiatan tertentu, atau dapat berbentuk dokumen program rencana pengeluaran tahunan dan multi tahunan untuk sektor-sektor serta sumber-sumber pembiayaannya. Bentuk usulan daerah tersebut berpedoman pada kebijakan instansi teknis terkait, kecuali usuloan tentang proyek/kegiatan reboisasi yang dibiayai dari bagian dana reboisasi.
Bila sektor/kegiatan yang diusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan, daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengteluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan bangunan, Bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam, Dana Alokasi Umum, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oleh daerah.
Pembiayaan kebutuhan khusus memerlukan dana pendamping dari Penerimaan Umum APBD. Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut, perlu penyediaan dana dari sumber Penerimaan Umum APBD sebagai pendamping atas Dana Khusus dari APBN. Porsi dana pendamping ditetapkan sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh persen), kecuali pembiayaan kegiatan reboisasi yang berasal dari Dana Reboisasi.
Pengelolaan Dana Alokasi Khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional.
Menteri teknis/instansi terkait melakukan pemantauan dari segi teknis terhadap proyek/kegiatan yang dibiayai dari Dana Alokasi Khusus. Pemantauan Menteri Teknis/instansi terkait bertujuan untuk memastikan bahwa proyek/kegiatan yang dibiayai Dana Alokasi Khusus tersebut sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan. Pemeriksaan atas penggunaan Dana Alokasi Khusus oleh daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan alokasi Dana Alokasi Umum disesuaikan dengan proses penataan organisasi pemerintahan daerah dan proses pengalihan pegawai ke daerah.
Dalam masa peralihan, Dana Alokasi Umum dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan jumlah pegawai yang telah sepenuhnya menjadi beban daerah, baik pegawai yang telah berstatus sebagai pegawai daerah sebelum 1 januari 2001 maupun pegawai pemerintah pusat yang dialihkan menjadi pegawai daerah.

Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yangt mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan.
Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dana Pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan Daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengtan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
 Sebagaimana layaknya suatu daerah otonom, pinjaman daerah bukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 juga secara khusus mengindikasikan 5 pasal tentang hal ini yaitu pasal 11, 12, 13,14, dan 15. Sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. Pada prinsipnya daerah otonom dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri (pemerintah pusat, lembaga komersial, atau penerbitan obligasi daerah) untuk membiayai sebagian kebutuhan fiskalnya, sedangkan pinjaman dari sumber luar negeri diadministrasikan melalui Pemerintah Pusat.
Berdasarkan jenisnya pinjaman bisa dalam bentuk jangka panjang yang ditujukan untuk pembiayaan prasarana sebagai aset daerah yang berkaitan dengan pelayanan sektor publiknya. Pinjaman dalam bentuk jangka pendek dimungkinkan, khususnya untuk pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999  menetapkan bahwa Pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah nyang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkanpenerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas daerah.
Pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun-tahun berikutnya yang cukup berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat dae5rah dalam mengelola Pinjaman Daerah. Untuk meningkatkan kemampuan objektif dan disiplin Pemerintah Daerah dalakm melaksanakan pengembalian pinjaman, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan Pinjaman Daerah. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang menyangkut Pinjaman Daerah, dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekonomian nasional.
Pinjaman Daerah dapat bersumber dari :
1.  Pinjaman Daerah dari dalam negeri bersumber dari :
a.       Pemerintah Pusat. Ketentuan-ketentuan mengenai pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat seperti jenis, jangka waktu pinjaman, masa tenggang, tingkat bunga, pengadministrasi dan penyaluran dana pinjaman, ditetapkan oleh   Menteri  Keuangan.
b.      Lembaga Keuangan Bank. Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari lembaga Keuangan Bank mengikuti ketentuan peraturan perumdang-undangan yang berlaku.
c.   Lembaga Keungan bukan Bank. Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Lembaga Keungan bukan Bank menikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.  Masyarakat. Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat antara lain melalui penerbitan Obligasi Daerah. Pelaksanaan penerbitan dan pembayaran kembali Obligasi Daerah mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.    Sumber lainnya, Pinjaman Daerah selain sumber tersebut di atas, misalnya Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah lain.
2.  Pinjaman Daerah dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau pinjaman multilateral. Pinjaman daerah terdiri dari 2jenis yaitu Pinjaman jangka panjang dan pinjaman jangka pendek.
Penggunaan Pinjaman Daerah
a)  Pinjaman jangka panjang hanya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Yang dimaksud dengan “menghasilkan penerimaan”adalah hasil penerimaan yang berkaitan dengan pembangunan prasarana yang dibiayai dari pinjaman jangka panjang tersebut, baik yang langsung dan/atau yang tidak langsung.
b) Pinjaman jangka panjang tidak dapat digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan.
Daerah dapat melakukan pinjaman Jangka Pendek guna pengaturan kas dalam rangka pengelolaan kas daerah. Pinjaman Jangka Pendek dapat digunakan untuk:
a)  Membantu kelancaran arus kas untuk keperluan jangka pendek.
b) Dana talangan tahap awal suatu investasi yang akan dibiayai dengan Pinjaman Jangka Panjang, setelah ada kepastian tentang tersedianya Pinjaman Jangka Panjang yang bersangkutan.
Daerah dapat juga memperoleh dana darurat, yaitu dana yang dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk keperluan mendesak, misalnya jika terjadi bencana alam, dan sebagainya. Pengaturan lebih lanjut dari dana darurat ini dilakukan melalui peraturan pemerintah.
Dengan dialokasikannya dana yang lebih besar dan lebih pasti kepada daerah, diharapkan daerah akan lebih mampu untuk memacu pembangunan daerah, sehingga kesenjangan pertumbuhan antar daerah dapat dikurangi. Demikian pula, pembagian dana yang rasional dan adil pada daerah-daerah penghasil sumber utama penerimaan keuangan negara, akan lebih memeratakan pembangunan, mengurangi kesenjangan sosial, dan meredam ketidakpuasan daerah. Oleh karena itu, daerah akan lebih respek terhadap pusat, sehingga hubungan yang harmonis antara pusat dan daerah lebih meningkat, serta integrasi nasional akan lebih kuat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mas... izin share yaa..

Posting Komentar