Kamis, 29 Maret 2012

OTONOMI DAERAH DAN HAK LEGISLASI


PENDAHULUAN          
Yang dimaksud dengan pemerintah daerah dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 adalah kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) dan DPRD.  Maka indikator kemampuan pimpinan pemerintah daerah tiada lain adalah karakteristik kepala daerah dan DPRD. Hal ini dapat terlihat melalui hubungan antara kepala daerah dengan DPRD berikut mekanisme yang berlaku dari masing-masing unsur pemerintah daerah tersebut.
Konstruksi tersebut dimaksudkan untuk mempertegas kedudukan kepala daerah dengan DPRD sebagai satu  kesatuan lembaga yang tak terpisahkan dalam kelembagaan pemerintahan daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terdapat pembagian tugas yang jelas dan berada pada kedudukan yang sama tinggi antara kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah memimpin eksekutif yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan Bupati/Walikota dan DPRD memimpin legislatif yang dipimpin oleh seorang Ketua.
Oleh karena itu setelah mempelajari sub-modul 7 ini, maka pembaca diharapkan dapat:
1.        Memahami tentang otonomi daerah dan hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas.
2.   Memahami tentang mekanisme penyusunan peraturan daerah, baik yang berasal dari inisiatif DPRD maupun inisiatif kepala daerah.



Hak Legislasi

Sebagai unsur pemerintah daerah, Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan hubungan kerja memiliki fungsi dan kewajiban masing-masing. Tentu fungsi yang berhubungan dengan eksekutif merupakan tanggungjawab Kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Fungsi yang berhubungan dengan legislatif merupakan tanggungjawab DPRD. Kedudukan dan dan fungsi kepala daerah sebagai salah satu unsur pemerintah daerah di samping DPRD ditegaskan dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 pasal 44 sebagai berikut:
1.        Kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama dengan DPRD.
2.        Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD
Sedangkan dalam pasal 43 ayat (g) disebutkan bahwa kepala daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai peraturan Daerah bersama dengan DPRD.
Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, peranan Kepala Daerah diharapkan mampu memahami perubahan yang terjadi secara cepat dan tepat dalam perspektif  nasional maupun international. Keberhasilan untuk menyesuaikan perubahan akan sangat ditentukan oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) sejauhmana dapat mengembangkan visi dan misi organisasi.
Dengan demikian kedudukan dan peranan Kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kelihatan memiliki peran ganda, di satu sisi kepala daerah yaitu sebagai fungsi eksekutif dalam hal ini sebagai penanggungjawab dan memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan disisi lain memiliki fungsi legislasi yaitu fungsi menetapkan peraturan daerah bersama dengan DPRD.
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimensi penting dari perubahan tersebut adalah menyangkut hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah yang berpeluang sangat dinamis. Hubungan ini bernuansa baru yang berbeda sama sekali dengan apa yang telah berlangsung selama 25 tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana hubungan antara diantara kedua lembaga tersebut sangat tidak seimbang, hal ini dapat dimengerti karena konteks politik yang terjadi pada masa orde baru tidak memberi peluang bagi terciptanya kelembagaan politik yang seimbang. Pada masa orde baru ada usaha yang dilakukan secara sistematik untuk menjadikan DPRD menjadi tidak berfungsi sebagai badan legislatif.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menempatkan DPRD dalam posisi yang lebih kuat dari DPRD pada masa sebelumnya. Pasal 16 ayat 2 menyatakan bahwa “DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah”. Dengan pasal ini, maka Kepala Daerah tidak dapat lagi menafikan keberadaan DPRD, dan harus dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijaksanaan publik di Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka otonomi daerah menuju kemandirian lokal, memerlukan inovasi-inovasi baru dalam bidang pemerintahan secara keseluruhan. Jadi sudah harus dipikirkan bagi kepentingan pemerintahan dimasa depan sebuah pola interaksi antara Eksekutif dan Legislatif di Daerah dengan menciptakan mekanisme Checks and Balances di tingkat lokal. Untuk mewujudkan hal tersebut maka mekanisme Checks and Balances memberikan peluang kepada kedua lembaga, baik eksekutif maupun ledislatif, untuk saling mengontrol, mengawasi dan mengimbangi. Didalam mekanisme seperti ini memang semua kebijaksanaan publik pada tingkat lokal harus melibatkan kedua belah pihak
Selanjutnya jika dahulu DPRD merupakan satu kesatuan dengan Kepala Daerah beserta perangkatnya, maka dalam sistem baru ini tidak lagi seperti itu. Dalam pasal 14 ayat (1) secara tegas dinyatakan bahwa : “Di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah”. Sementara itu yang dimaksudkan dengan Pemerintah daerah adalah hanya Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. Dari ketentuan ini, kedudukan diantara dua lembaga tersebut bersifat “sejajar dan sekaligus menjadi mitra” (pasal 16). Jadi ini merupakan perubahan yang sangat mendasar dibanding Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Ketentuan ini merupakan ide baru yang konkrit sebagai indikasi adanya misi demokrasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. DPRD secara “de yure” menempati posisi yang sangat kuat dan setara dengan k  ekuasaan eksekutif. Sedangkan secara “de facto” masih harus kita buktikan dalam praktika penyelenggaraan pemerintahan di daerah, apakah lembaga ini benar-benar mampu menciptakan “checks and balances” dengan pihak eksekutif. Sehingga segala sesuatunya terpulang kembali kepada DPRD  itu sendiri untuk mampu tidaknya memainkan peranan yang diharapkan oleh warga masyarakat.
Berdasarkan fungsi dan peran tersebut, maka pengangkatan kepala daerah memerlukan pertimbangan yang cermat dan matang sehingga dapat memenuhi persyaratan dalam rangka memenuhi fungsi yang bersifat ganda tersebut. Sebagai kepala wilayah ia harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan yang dipercaya oleh pemerintah pusat, sedangkan sebagai kepala daerah otonom ia harus diterima dan mendapat dukungan dari rakyat yang ada di dearahnya.
Mengingat  fungsi dan peran kepala daerah yang begitu berat, maka diperlukan persyaratan yang cukup baik sebagai alat untuk menjaring agar seseorang dapat dipilih sebagai kepala daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 33 tercantum syarat-sayarat yang dapat ditetapkan sebagai kepala daerah sebagai berikut:
1.        Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.        Setia dan taat kepada negara kesatuan Republik Indonesia dan pemerintah yang sah.
3.      Tidak pernah terlibat dalam kegiatan menghianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan  
      Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang dinyatakan dengan Surat Keterangan Ketua Pengadilan negeri.
4.        Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingka Atas dan/atau sederajat.
5.        Berumur sekurang-kurangnya tiga puluh tahun
6.        Sehat jasmani dan rohani
7.        Nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya
8.        Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana
9.        Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri
10.    Mengenal daerah dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya
11.    Menyerahkan daftar kekayaan pribadi, dan
12.    Bersedia dicalonkan menjadi kepala daerah.(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 3)
Persyaratan tersebut dalam penerapannya bisa ditafsirkan secara elastis, karena sifatnya yang terlalu umum dan tidak merujuk pada syarat-syarat khusus bagi jabatan kepala daerah. Untuk menduduki jabatan kunci, (Geral D.Grovers 1991) memandang perlu pertimbangan kriteria untuk menganalisa selekasi calon pejabat sebagai berikut:
“…some of the characteristic which are more important for potential candidates are: communication skill, knowledge of interpersonal behaviour, skill and technical capacity, organization and political sensitivity”(Beberapa dari karakteristik yang sangat penting bagi calon yang berpotensi adalah : Kecakapan berkomunikasi, pengetahuan dari perilaku antar peribadi, kecakapan dan kemampuan teknis, kepekaan organisasi dan politik. Gerald D Groves, : 1991).
Untuk memenuhi tuntutan dari kedua fungsi kepala daerah telah ditetapkan tata cara pencalonan, pemilihan dan pengangkatannya. Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 pasal 34 disebutkan bahwa:
1.         Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui  
       pemilihansecara bersamaan.
2.        Calon Kepala daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah di tetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan Pemilihan.
3.        Untuk pencalonan dan pemilihan  kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk panitia pemilihan
Dengan demikian seorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah melalui mekanisme pencalonan dan pemilihan yang ditetapkan melalui tata tertib DPRD. Sehingga dapat dimaknai bahwa penacalonan kepala daerah tidak dapat dilakukan secara individu, melainkan harus melalui dukungan anggota DPRD melalui fraksi-fraksi yang ada.
Penanan dan fungsi DPRD sebagai salah satu unsur pemerintah daerah sangat menentukan bagi terwujudnya penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga legislatif daerah, DPRD mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1.        Memilih Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
2.        Memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan daerah.
3.   Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/wakil gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
4.        Bersama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota membentuk Peraturan Daerah
5.        Bersama dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Darah.
6.        Melakukan pengawasan terhadap:
a.         pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lain,
b.         pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota,
c.         pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan belanja daerah,
d.        kebijakan pemerintah daerah, dan
e.         pelaksanaan kerja sama internasional di daerah,
f.  memberikan pendapat dan pertimbangan terhadap pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah, dan
g.         menampung dan menindak lanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan fungsi legislatifnya, baik dalam kedudukan sebagai wakil rakyat maupun sebagai wakil rakyat maupun sebagai unsur pemerintah daerah. DPRD meurut Undang-undang No. 22 tahun 1999 diberikan hakl-hak tertentu yaitu meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati dan Walikota, meminta keterangan kepada pemerintah daerah, mengadakan penyelidikan, mengadakan perubahan atas Rancangan Perda, mengajukan pernyataan pendapat, menentukan Anggaran Belanja DPRD, dan menetapkan peraturan dan tata tertib daerah.



Mekanisme Penyusunan Perda

Dalam rangka tertib administrasi dan  peningkatan kualitas produk hukum daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perda agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perda perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam Perda, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut ke dalam Perda secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya.
Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap,yaitu:
a.         Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft).
b.        Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.
c.         Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Ketiga proses pembentukan Perda tersebut selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.         Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD.
Berdasarkan amandemen I dan II Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang-Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang kekuasaan membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda. Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan Raperda atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau unit kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian Hukum.
b.        Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
Dalam proses penyiapan Perda yang berasal dari Pemerintah Daerah bisa dilihat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2006. Hasil penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Sekretaris Daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh Kepala Biro/Bagian Hukum dan pimpinan satuan perangkat daerah terkait. Pasal 10 : Produk hukum daerah berupa Rancangan Peraturan Daerah atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan. Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang dimaksud dengan Satuan Kerj Perangkat Daerah yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut.
Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh Sekretariat daerah mengenai urgensi, argumentasi dan pokokpokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan ke dalam Raperda tersebut maka Sekretariat Daerah akan mengambil keputusan dan menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat. Setelah itu satuan kerja perangkat daerah dapat mendelegasikan kepada Biro/Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan produk hukum daerah.
Penyusunan Perda/produk hukum daerah lainnya harus dilakukan melalui Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diketuai oleh pejabat pimpinan satuan kerja perangkat daerah yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro/Bagian Hukum sebagai sekretaris tim. Setelah pembahasan rancangan produk hukum selesai, pimpinan satuan kerja perangkat daerah akan menyampaikan kepada  Sekretaris Daerah melalui Kepala Biro/Bagian Hukum.Raperda yang telah melewati tahapan di atas akan disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan sekaligus menunjuk Wakil Pemerintah Daerah dalam Pembahasan Raperda tersebut.
c.         Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
Pembahasan Raperda di DPRD baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD, dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/ Walikota, Pemda membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris Daerah berada di Biro/Bagian Hukum. Tetapi biasanya pembahasan dilakukan melalui beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih detail mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing. Khusus untuk Raperda atas inisiatif DPRD, Kepala Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.
d.        Proses Pengesahan dan Pengundangan.
Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/ Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan. Penomoran Perda tersebut dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum. Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan menandatangani Perda tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan Biro/Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi da dokumentasi Perda tersebut.
Apabila masih ada kesalahan teknik penyusunan Perda, Sekretaris DPRD dengan persetujuan Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan Raperda yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah diserahkan kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah Perda diundangkan dan masih terdapat kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui Lembaran Daerah. Pemda wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar semua masyarakat di daerah setempat dan pihak terkait mengetahuinya.
e.         Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
Agar memiliki kekuatan hukum dan dapat mengikat masyarakat, Perda yang telah disahkan oleh Kepala Daerah harus diundangkan dalam Lembaran Daerah. Untuk menjaga keserasian dan keterkaitan Perda dengan penjelasannya, penjelasan atas Perda tersebut dicatat dalam Tambahan Lembaran Daerah dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda sebagaimana yang diundangkan di atas. Pejabat yang berwenang mengundangkan Perda tersebut adalah Sekretaris Daerah.

0 komentar:

Posting Komentar