Jumat, 01 Mei 2015

KEARIFAN LOKAL


BAB 1
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku dan ras, terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa, tata nilai dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya (Asian Brain, 2010). Adat istiadat, tata nilai dan budaya tersebut antara lain mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti: hubungan sosial kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan, mitos-mitos dan sanksi adat yang berlaku di lingkungan masyarakat adat yang ada. 2 Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses atau kaidah perencanaan dan pembangunan wilayah atau kawasan, seperti yang terdapat pada masyarakat Bali, Minang, Aceh, Batak, Jawa, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, dan lain-lain yang memiliki berbagai kaidah perencanaan dan pengembangan kawasan. Kaidah-kaidah tersebut ada yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu. Selain aspek fisik dan visual, keanekaragaman budaya, sosial kemasyarakatan yang terkandung di dalam kearifan lokal umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan dan perancangan lingkungan binaan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas tentang tipologi kearifan lokal dan kaitannya dengan regulasi di bidang penataan ruang, serta pada bagian akhir juga diulas bagaimana upaya mengharmonisasikannya sehingga kearifan lokal dapat diakomodasikan dengan baik dalam regulasi ataupun perencanaan tata ruang secara formal.
BAB II
PENGERTIAN DAN TIPOLOGI KEARIFAN LOKAL

2.1 Pengertian
Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai kebudayaan (budaya). Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) 3 untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi.
            Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).
2.2 Tipologi
Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam, dan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1976:10-11). Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan, maka ia akan mengalami reinforcement secara terus-menerus sehingga menjadi yang lebih baik. Kearifan lokal merupakan manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya sekaligus dapat menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Secara umum tipologi kearifan lokal dapat dikelompokkan terhadap jenis dan bentuknya, yaitu:
2.2.1. Jenis Kearifan Lokal
Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).
a.      Tata Kelola
Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada, seperti Dalian Natolu di Sumatera Utara, Nagari di Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan di Jawa dan Banjar di Bali. Sebagai contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial yang mengelola kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada setiap daerah yang memiliki adat besar pada umumnya terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai satu badan musyawarah adat yang disebut Kombongan Ada’. Setiap Kombongan Ada’ memiliki beberapa penguasa adat kecil yang disebut Lembang. Di 4 daerah lembang juga masih terdapat penguasa adat wilayah yang disebut Bua’ (Buletin Tata Ruang, 2009). Selain itu, terdapat pula pembagian tugas dan fungsi dalam suatu kelompok masyarakat adat misalnya Kepatihan (patih), Kauman (santri) di perkampungan sekitar Keraton di Jawa. Kewenangan dalam struktur hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola, seperti kewenangan ketua adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi serta denda sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu.
b.      Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, alam semesta, dan manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati, mengenai mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
c. Tata Cara atau Prosedur
Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang tepat untuk bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti: Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan waktu bercocok tanam berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat Jawa atau sistem Subak di Bali.
Selain itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua umumnya memiliki aturan mengenai penggunaan ruang adat termasuk batas teritori wilayah, penempatan hunian, penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan air untuk persawahan atau pertanian hingga bentuk-bentuk rumah tinggal tradisional. Di Tasikmalaya Jawa Barat misalnya, terdapat sebuah kampung budaya yaitu Kampung Naga, yang masyarakatnya sangat teguh memegang tradisi serta falsafah hidupnya, mencakup tata wilayah (pengaturan pemanfaatan lahan), tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan tata lampah (pengaturan perilaku/perbuatan). Ketentuan Khusus (Kawasan Sensitif, Suci, Bangunan) Mengenai pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, seperti di Sumatera Barat, terdapat beberapa jenis kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, tanah, dan air seperti Rimbo Larangan (hutan adat/hutan larangan), Banda Larangan (sungai, anak sungai / kali larangan), Parak (suatu lahan tempat masyarakat berusaha tani dimana terdapat keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang waktu secara bergiliran), serta Goro Basamo (kegiatan kerja bersama secara gotong royong untuk kepentingan masyarakat banyak seperti membuat jalan baru, bangunan rumah ibadah, membersihkan tali bandar (sungai), dan menanam tanaman keras). Terkait dengan bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya, masyarakat tradisional juga telah mengembangkan berbagai bentuk arsitektur rumah tradisional seperti rumah adat batak, rumah gadang, rumah joglo, rumah 6 panjang, rumah toraja, dan rumah adat lainnya yang dapat memberikan perlindungan dan ramah terhadap lingkungan.
2.2.2. Bentuk Kearifan Lokal
Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
a. Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut: i. Tekstual Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai contoh, prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi) (Suryana, 2010). Tulisan yang digunakan dalam prasi  adalah huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis pisau. Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih dari fungsi  awalnya, yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi benda koleksi semata. Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemuka dalam keberadaan prasi masa kini, penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat Bali tetap dianggap penting.. Bangunan/Arsitektural Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari bentuk kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan rumah rakyat  ini merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan vernakular ini mempunyai keunikan karena proses pembangunan yang mengikuti para leluhur, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya (Triyadi dkk., 2010). Bangunan vernakular ini terlihat tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip dan teori bangunan yang memadai, namun secara teori terbukti mempunyai potensi-potensi lokal karena dibangun melalui proses trial & error, termasuk dalam menyikapi kondisi lingkungannya.
Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni) Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal, contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang sangat penting. Meskipun pada saat ini keris sedang menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan serta dalam menyumbangkan kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai kemanusiaan di muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia. Setidaknya sejak abad ke-9, sebagai sebuah dimensi budaya, Keris tidak hanya berfungsi sebagai alat beladiri, namun sering kali merupakan media ekspresi berkesenian dalam hal konsep, bentuk, dekorasi hingga makna yang terkandung 8 dalam aspek seni dan tradisi teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki fungsi sebagai  seni simbol jika dilihat dari aspek seni dan merupakan perlambang dari pesan sang empu penciptanya.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Terdapat berbagai macam motif batik yang setiap motif tersebut mempunyai makna tersendiri. Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun memiliki makna dari leluhur terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.
b. Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah 9 atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.

BAB III
HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBANGUNAN PENATAAN RUANG

Dalam upaya mengharmonisasikan, menjaga dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks penataan ruang, pemerintah perlu melakukan beberapa upaya pada berbagai aspek pada tingkatan penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
3.1. Harmonisasi Terhadap Pengaturan Penataan Ruang
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengharmonisasikan kearifan lokal terhadap pengaturan penataan ruang mencakup ketentuan kearifan lokal dalam Peraturan Daerah tentang RTRW/RDTR Kabupaten/Kota yang membahas mengenai kawasan strategis, peraturan zonasi atau persyaratan perijinan, seperti pedoman-pedoman khusus yang terkait dengan upaya pelestarian budaya atau pengembangan kawasan pusaka. Penekanan yang harus dilakukan terhadap pelestarian kearifan lokal yaitu dengan menjadikan norma adat dan tradisi budaya sebagai muatan dalam peraturan perundangundangan. Namun demikian, diperlukan kajian yang lebih mendalam dengan melibatkan  lintas disiplin ilmu seperti ilmu sosial, hukum, dan budaya untuk melihat potensi-potensi kearifan lokal yang ada di setiap daerah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), aspek budaya dan kearifan lokal telah diakomodasikan dalam ketentuan tentang KSN sebagaimana tercantum dalam Lampiran X mengenai penetapan kawasan Borobudur dan sekitarnya dan kawasan Candi Prambanan (Provinsi Jawa Tengah) sebagai KSN. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan ini terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Penetapan ini dimaksudkan juga untuk tetap menjaga kelestarian nilai kearifan lokal pada kawasan tersebut serta agar keberadaan kawasan pusaka budaya tersebut dapat dijamin terlindungi, bahkan bisa dikembangkan, dengan nilai-nilai tambah selain aspek budayanya
                Secara khusus PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, pada pasal 45, mengatur tentang penyusunan dan penetapan rencana tata ruang kawasan strategis. Penataan ruang kawasan strategis dilakukan untuk mengembangkan, melestarikan,  melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan dalam mendukung penataan ruang wilayah. Disebutkan pula kriteria kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya merupakan:
(i)         tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya;
(ii)        prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya;
(iii)       aset yang harus dilindungi dan dilestarikan;
(iv)       tempat perlindungan peninggalan budaya;
(v)        tempat yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya; dan
(vi)       tempat yang memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial.
Dengan adanya peraturan ini diharapkan kearifan lokal yang menjadi bagian dari aspek budaya dapat terakomodasikan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini sejalan dengan ketentuan lain yang bersifat global tentang pelestarian pusaka dunia (world heritage) oleh UNESCO. UNESCO telah mempersiapkan rekomendasi internasional yang mengatur beberapa prinsip dan norma yang dapat menjadi acuan oleh konferensi umum. Dua hal penting yang menjadi rekomendasinya yaitu:
(1)    Natural Heritage, rekomendasi-rekomendasi yang mengatur pelestarian potensi-potensi budaya yang dimiliki oleh suatu daerah/negara;
(2)    Cultural Heritage, yang berarti sekumpulan rekomendasi yang memperhatikan pelestarian potensi atau aset budaya yang sebagian besar telah dimanfaatkan secara bertanggungjawab.
(3)     
3.2. Harmonisasi Terhadap Aspek Pembinaan Penataan Ruang
Berdasarkan UUPR, pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah derah, dan masyarakat. Pembinaan penataan ruang perlu terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks pembinaan, perlu dilakukan bimbingan teknis dan bantuan teknis terhadap peran dan kedudukan kearifan lokal dalam menyikapi arus globalisasi serta dalam menghadapi berbagai persoalan bencana dan kerusakan lingkungan. Beberapa fenomena bencana alam yang terjadi di Indonesia seperti tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, gempa di Padang, dan tanah longsor Jawa Barat harus disikapi secara bijak melalui proses adaptasi dan mitigasi yang dapat dikembangkan melalui penggalian kembali nilai-nilai kearifan lokal yang relevan.
Upaya harmonisasi kearifan lokal terhadap aspek pembinaan penataan ruang dapat berbentuk pelibatan masyarakat. Sebagai contoh, pelibatan tokoh adat dalam sosialisasi  peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. Tokoh-tokoh adat lebih mengetahui dan paham akan kearifan lokal yang ada pada suatu daerah. Selain itu, penyebaran informasi dengan ketentuan pelestarian budaya dan kawasan pusaka merupakan faktor penting lainnya dalam proses harmonisasi tersebut. Dengan demikian, regulasi penataan ruang dengan mempertimbangkan kearifan lokal yang ada secara efektif dapat dimanfaatkan oleh semua pihak. Pemanfaatan forum-forum tradisional atau organisasi kemasyarakatan dalam rangka proses konsultasi publik juga sama efektifnya dalam rangka upaya harmonisasi kearifan lokal  engan aspek pembinaan. Hal yang lain seperti dengan memanfaatkan kesenian tradisional (seperti wayang kulit) dalam rangka sosialisasi kebijakan penataan ruang. Penggunaan kesenian tradisional dapat  diwujudkan dalam bentuk ide atau konsep maupun penggunaan kesenian tersebut (dekorasi).

3.3. Harmonisasi Terhadap Aspek Pelaksanaan Penataan Ruang
Berdasarkan UUPR, pelaksanaan penataan ruang adalah pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk perencanaan tata ruang yang mencakup rencana struktur ruang dan pola ruang harus memperhatikan aspek budaya yang ada, seperti dengan adanya kawasan strategis dan kawasan pusaka/budaya. Setiap perencanaan tata ruang perlu melakukan survey mengenai kearifan lokal atau budaya yang terkait di dalamnya yang akan menentukan bentuk dari regulasi penataan ruang. Hal ini juga dilakukan agar masyarakat sebagai bagian dari budaya ikut terlibat dalam perencanaan tata ruang. Aspek pelaksanaan juga terkait dengan pemanfaatan ruang, contohnya di tingkat perkotaan dan kawasan, terdapat rencana rinci berupa Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang didalamnya juga mengatur peraturan zonasi, dan RTBL untuk zona/kawasan yang diprioritaskan. Dalam RDTR tersebut diatur rencana pemanfaatan ruang dalam skala lebih terinci dibandingkan dalam RTRW. Hal ini juga terkait dengan kepentingan pengendalian (perijinan), termasuk rencana pemanfaatan ruang yang lebih menonjolkan pusaka budaya  kota yang dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang di setiap zonanya. Pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan aspek lain dari pelaksanaan penataan ruang mencakup beberapa hal terkait dengan kearifan lokal seperti, pengaturan fungsi-fungsi bangunan atau lingkungan yang boleh, tidak boleh, atau dibatasi pengembangannya dalam kawasan sekitar pusaka budaya. Pencapaian kualitas fungsional, visual, dan lingkungan dari sub-sub kawasan yang diprioritaskan disusun RTBLnya yang proses penyusunannya harus bersifat inklusif berorientasi kolaborasi berbagai pelaku pembangunan. Dalam suatu wilayah pada umumnya memiliki lembaga pengelolaan tersendiri yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui banyak mengenai kearifan lokal yang ada. Di sinilah peran  tokoh-tokoh adat tersebut dianggap penting dalam mengharmonisasikan kearifan lokal dengan regulasi penataan ruang. Selain itu, upaya yang dilakukan adalah melakukan revitalisasi dan/atau konservasi dalam pengembangan dan pelestarian kearifan lokal kota melalui strategi pelestarian yang bersinergi dengan aktivitas seperti ekonomi, sosial dan budaya sehingga mampu mengembalikan citra dan kualitas kawasan, serta menjadikan kawasan yang berperan penting dan memiliki nilai ekonomi tinggi dalam konteks nasional bahkan internasional. Melalui 14 penataan ruang, dapat diwujudkan ruang-ruang bagi penguatan kehidupan berbudaya yang produktif. Harmonisasi kearifan lokal dalam pelaksanaan penataan ruang juga dapat dilakukan dengan mempertahankan, melindungi, memelihara, dan mengembalikan fungsi kawasan pusaka budaya yang mengandung nilai sejarah, kearifan lokal, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta mendorong kehidupan dan keberagaman aktivitas sosial seni dan budaya. Hal tersebut dalam arti luas, termasuk melalui penyediaan ruang dan fasilitas sehingga dapat mengangkat nilai fungsional, ekonomi, seni, budaya dan sejarah. Selain itu, dilakukan pula pengembangan public – private partnership melalui sistem kelembagaan, hukum dan manajemen perkotaan yang efektif dan profesional pada bangunan-bangunan konservasi atau pelestarian yang ada. Disinilah, keterlibatan tokoh-tokoh adat juga sangat diperlukan sebagai proses pembelajaran akan kearifan lokal yang ada pada suatu daerah setempat.
3.4. Harmonisasi Terhadap Aspek Pengawasan Penataan Ruang
Harmonisasi kearifan lokal terhadap aspek pengawasan dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Ketika peran masyarakat terlibat dalam hal ini, maka tokoh-tokoh adat juga dapat dilibatkan.Tokoh-tokoh adat lebih banyak mengetahui perihal yang terkait dengan kearifan lokal sehingga mereka dapat memberi masukan tentang apa saja yang dapat diharmonisasikan ke dalam regulasi penataan ruang. Sesuai dengan UUPR, pada pasal 55 disebutkan bahwa pengawasan terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat. Peran masyarakat itu sendiri dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
Kewenangan Pemerintah salah satunya dengan mengadakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program Pembinaan Penataan Ruang. Sistem pengawasan yang ada perlu diakomodasikan dengan beberapa sistem nilai yang telah dikembangkan secara tradisional dalam menjaga kelestarian lingkungan dan sanksi sosial untuk mencegah perusakan lingkungan. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem pengawasan sosial yang dilakukan oleh masing-masing Banjar (pecalang) terhadap kepatuhan masyarakat kepada ketentuan yang ada. Hal ini dapat misalnya disinergikan dengan keberadaan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang secara formal bertugas melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan di bidang tata ruang. PPNS Penataan Ruang dalam pelaksanaan tugasnya mempunyai tugas dan fungsi 15 pengawasan dan penegakan delik pidana penataan ruang sebagaimana diatur dalam UUPR, dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu berkoordinasi dengan Penyidik Polri. Dengan terbentuknya PPNS ini, penegakan hukum penataan ruang dalam upaya mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dapat diwujudkan melalui tertib hukum enataan ruang. Aspek pengawasan juga mencakup pelarangan perubahan fungsi bangunan di sekitar kawasan pusaka budaya yang dapat mengganggu karakter kawasan pusaka cagar budaya, dan kepada pemilik bangunan diberikan insentif, misalnya dalam bentuk pengurangan atau pembebasan pembayaran PBB. Sebagai contoh, pengawasan pada bangunan bersejarah dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor seperti: apakah suatu bangunan telah melakukan adaptasi fungsi bangunan konservasi/pelestarian dengan fungsi-fungsi baru yang berorientasi produktif (adaptive uses) dan mampu menggairahkan apresiasi berbudaya. Pembangunan baru yang adaptif dengan lingkungan, mengikuti kaidah-kaidah konservasi dan sesuai dengan peraturan/pedoman yang berlaku. Pembangunan yang dilakukan juga harus senantiasa memperhatikan nilai kearifan lokal, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semua hal tersebut akan terkait sanksi jika ada pelanggaran, oleh karena itu dibutuhkan pengawasan yang baik dari Pemerintah, pemerintah daerah maupun peran masyarakat termasuk tokohtokoh adat.














BAB IV
PROSES AKOMODASI KEARIFAN LOKAL
DALAM REGULASI PENATAAN RUANG

Seiring dengan perkembangan era globalisasi, aspek kebudayaan juga mengalami perkembangan yang cukup pesat karena merupakan bagian penting dalam ilmu pengetahuan dan keterkaitannya dengan hubungan sosial kemanusiaan (Wicaksono, 2009). Perkembangan budaya yang terjadi juga tidak terlepas dari upaya peningkatan kesadaran akan keanekaragaman budaya tersebut. Keterkaitan potensi atau aspek budaya ini merupakan suatu hal yang masih perlu dikembangkan terutama dalam perwujudannya dalam perencanaan perkotaan dan wilayah. Karena keterkaitan yang erat antara potensi budaya dan perencanaan tata ruang, diperlukan upaya untuk mengakomodasi nilai budaya lokal/adat istiadat ke dalam hukum positif, yaitu ke dalam regulasi penataan ruang. Salah satu upaya yang dapat mengakomodasi 16 kearifan lokal dalam regulasi penataan ruang yaitu melalui proses adopsi, adaptasi, atau assimilasi. Adopsi berarti mengakomodasikan apa saja yang terkandung di dalam kearifan lokal seutuhnya atau secara langsung ke dalam regulasi penataan ruang tanpa ada intervensi dari berbagai hal atau aspek. Sebagai contoh, di Nusa Penida Bali, kepercayaan keagamaan lokal menjadi acuan untuk upaya pelestarian lingkungan. Kebudayaan lokal termasuk kepercayaan agama dan perilaku masyarakat merupakan aspek yang penting dalam wujud penciptaan hubungan yang baik antara masyarakat atau suatu komunitas dengan alamnya. Oleh karena itu, sebagai contoh dari proses adopsi terkait dengan kearifan lokal, di Karang Kekeran misalnya, terdapat regulasi peruntukan lahan lokal yang mengatur pembangunan fisik tidak boleh dilakukan di dalam radius 0.5 km dari Pura Dhang Kahyangan.
Penamaan daerah merupakan contoh lain yang merupakan bagian dari proses adopsi, dimana penamaan daerah menggunakan nama-nama dari penamaan zoning yang dahulu digunakan. Contohnya di Solo, Yogyakarta, nama-nama suatu daerah (kelurahan atau kampung) mengadopsi dari nama-nama penzoningan: kauman (daerah pesantren), kepatihan (daerah tempat para patih), dan jagalan (tempat menyembelih binatang sapi pada zaman dahulu kala). Proses akomodasi yang berikutnya yaitu dapat dilakukan dengan melakukan adaptasi, atau penyesuaian kearifan lokal yang dapat meliputi perubahan untuk menyesuaikan dan menghasilkan suatu perencanaan yang lebih baik. Pertanahan yang terkait hak ulayat dapat menjadi contoh proses adaptasi. ‘Tanah ulayat adalah bidang 17 tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.1 Sedangkan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (sumber: www.wikipedia.com). Contohnya, Suku Baduy di Banten, mereka hidup turun-temurun di atas bidang tertentu dan membentuk wilayah kehidupan masyarakat Baduy yang terikat oleh tatanan hukum adat masyarakat Baduy dan seluruh anggota masyarakat harus mematuhi hukum adat tersebut. Pertanahan yang terkait hak ulayat sudah menjadi bagian dari kehidupan  mereka. Mereka hidup dengan mengambil manfaat dari sumber daya alam di tanah-tanah tersebut.  Melalui proses adaptasi, pemerintah mengakui dan menetapkan beberapa daerah di Banten, contohnya, Desa Kanekes sebagai hal ulayat masyarakat hukum adat Baduy, melalui beberapa peraturan daerah, seperti:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
b. Peraturan Daerah Nomor 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak; 
c. Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batasbatas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak.
Dengan ketetapan hukum tersebut dan proses adaptasi, hingga saat ini tanah ulayat masyarakat Baduy tetap terjaga keberadaannya, termasuk nilai-nilai budaya tetap dilestarikan, sehingga kearifan lokal dapat disinkronisasikan dengan proses adaptasi ke dalam regulasi penataan ruang. Dengan keanekaragaman budaya yang berlanjut melalui proses adaptasi yang merupakan fungsi kreatifitas yang berkelanjutan, budaya yang telah hilang keberadaannya dapat diupayakan kembali untuk dikembangkan. Bahkan, hal ini juga berlaku untuk cara pandang atau budaya baru, di mana akan ada proses adaptasi atau penyesuaian terhadap kondisi yang ada.  Proses asimilasi dimaksudkan sebagai upaya penggabungan kebudayaan sehingga terbentuk budaya atau kearifan yang baru, yang mungkin dapat terkait dengan nilai-nilai religi yang masih melekat pada kehidupan masyarakatnya,


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Penyelenggaraan penataan ruang dan kearifan lokal memiliki keterkaitan yang erat. Di tingkat daerah, kearifan lokal merupakan kunci penguatan penyelenggaraan penataan ruang. Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 (UUPR) telah memberi kewenangan kepada Pemerintah Provinsi dan Kota/Kabupaten untuk merencanakan penataan wilayah masing-masing sesuai dengan potensi sumber daya, karakteristik, dan budaya (kearifan lokal) daerah masing-masing. UUPR mengamanatkan mengenai pentingnya memperhatikan aspek kearifan lokal yang terkandung dalam sistem budaya dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pemerintah perlu terus melakukan beberapa upaya pada berbagai tingkatan penyelenggaraan penataan ruang dalam rangka menjaga dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks penataan ruang. Dalam proses penyusunan rencana tata ruang, peran masyarakat harus terlibat dalam seluruh proses dimulai dari tahap persiapan sampai pada tahap penetapan suatu rencana tata ruang wilayah. Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang diawali dengan identifikasi potensi dan masalah pembangunan yang tidak hanya mencakup perhatian pada masa 19 sekarang, namun juga potensi dan masalah yang akan mengemuka di masa depan dengan tetap mempertimbangkan potensi wilayah serta budaya dari masing-masing daerah.
Karena adanya hubungan yang erat antara budaya dan kota, di mana kota merupakan suatu bentuk dari perwujudan fisik dan spasial atas artikulasi budaya masyarakat, upaya mengakomodasikan aspek budaya ke dalam perencanaan tata ruang perlu diperhatikan dengan baik. Dalam rangka mengharmonisasikan, menjaga, dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks penataan ruang, pemerintah perlu melakukan beberapa upaya pada berbagai aspek pada tingkatan penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Operasionalisasi kebijakan dan strategi dalam rangka pelestarian dan pengembangan kearifan lokal harus diupayakan secara lebih erpadu dan berkelanjutan dengan mensinergikan antara aspek budaya serta aspek strategis lainnya melalui pengarus-utamaan prinsip-prinsip dan nilai budaya daerah dalam proses penyelenggaraan penataan ruang di tingkat pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Salah satu upaya yang dapat mengakomodasi kearifan lokal dalam regulasi penataan ruang yaitu melalui proses adopsi, adaptasi, atau asimilasi. Proses adopsi ditandai dengan adanya kepercayaan terhadap kearifan lokal yang menjadi acuan untuk upaya pelestarian lingkungan serta penamaan daerah dengan menggunakan nama-nama dari penamaan zoning yang dahulu digunakan. Sedangkan, pertanahan yang terkait hak ulayat dapat menjadi contoh proses adaptasi. Proses asimilasi yang dimaksud adalah yang terkait dengan nilai-nilai religi yang masih melekat pada kehidupan masyarakatnya, contohnya pada masyarakat Bali.






























REFERENSI

Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum (2009) Advokasi Penyelenggaraan Penataan Ruang, di Provinsi NTT, Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara, Buku Pintar,. Ernawi, I. S. (2009) ‘Kearifan Lokal Dalam Perspective Penataan Ruang’, Prosiding Seminar Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan, Teknik Arsitektur Universitas Mereka Malang, 7 Agustus 2009.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Hawasi (2007) ‘Kearifan Lokal Yang Terkandung Dalam Sastra Mistik Jawa’, Fakultas Sastra Universitas Gunadarma, Jakarta.
Indradi, Y. (2006) ‘Kearifan Lokal: Potret Pengelolaan Hutan Adat di Sungai Utik, Kapuas Hulu’, DTE Indonesia. 21
Irsan, Bartoven V. N. (2009) ‘Kearifan Lokal untuk Kesejahteraan Rakyat’, Lembaga
Penelitian Unila.
Isdijanto Ar-Riza, Fauziati, N., Noor, H. D., ‘Kearifan Lokal Sumber Inovasi Dalam Mewarnai Teknologi Budidaya Padi Di Lahan Rawa Lebak’, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.
Istanti, K. Z. (2007) ‘Wujud Kearifan Lokal Teks Amir Hamzah Nusantara’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 5-26, P3M STAIN, Purwokerto. ‘Kampung Naga’. Pada: http://www.anindita89.wordpress.com/2010/01/ 02/sejuta-pesonakota-  tasikmalaya/. [6 April 2010]
Redaksi Butaru (2009) ‘Tana Toraja, Berdiri Diantara Pilar Tradisi Dan Modernisasi’, Penataan Kawasan Warisan Budaya, Buletin Tata Ruang, Desember 2009. Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.
Suryana, J. (2010) ‘Prasi, Kearifan Lokal Masyarakat Bali’, April 2010. Pada: http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/08/prasi-kearifan-lokal-masyarakat-bali/. [23 April 2010]