Kamis, 29 Maret 2012

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH, DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG


PENDAHULUAN
              Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pemilihan Kepala  Daerah Langsung) merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di aras lokal. Setidaknya, sistem Pemilihan Kepala  Daerah Langsung memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik “ala” UU no. 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang diretas oleh UU no. 22 Tahun 1999.
  Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis, Pemilihan Kepala  Daerah Langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi loka, pertama, sistem demokrasi langsung melalui Pemilihan Kepala  Daerah Langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukkan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan- yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruimen politik di tangan segelitir orang di DPRD (Oligarkis). Kedua, dari sisi kompetisi politik, Pemilihan Kepala  Daerah Langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pemilihan Kepala  Daerah Langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti; praktek politik dagang sapi dan money politics. Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik-seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Keempat, Pemilihan Kepala  Daerah Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui Pemilihan Kepala  Daerah Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan demikian, Pemilihan Kepala  Daerah mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan masyarakarat-warganya. Kelima, Kepala daerah yang terpilih melalui Pemilihan Kepala  Daerah akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah; antara kepala daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik.
Dengan pergantian sistem dari demokrasi perwakilan ke bentuk demokrasi langsung dalam pemilihan kepala daerah maka akan berlangsung proses politik yang sangat dinamis di Indonesia pasca Pemilu 2004. Seperti yang diberitakan secara luas bahwa sampai dengan bulan Juni 2005 akan berlangsung Pemilihan Kepala  Daerah langsung di 7 provinsi, 145 kabupaten dan 26 kota. Setelah itu antara bulan Juni sampai dengan Desember 2005, ada sebanyak 4 Gubernur, 33 Bupati dan 9 Walikota yang akan menyelesaikan masa jabatannya.
Maka setelah mempelajari sub-modul 5 ini, maka pembaca dapat:
1.       Memahami makna desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks hak untuk memilih sendiri pemimpin lokal secara bebas
2.        Memahami proses pemilihan kepala daerah secara langsung dengan segala dinamikanya.





Perangkap Elektoralisme

Walaupun secara normatif, Pemilihan Kepala  Daerah Langsung menyisakan sejumlah harapan namun pada saat yang bersamaan Pemilihan Kepala  Daerah Langsung juga memiliki peluang untuk jatuh dalam perangkap elektoralisme. Oleh karena itu, salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan memperoleh manfaat dari sistem Pemilihan Kepala  Daerah Langsung adalah kemampuan untuk menghindari jebakan demokrasi elektoral. Hal ini penting karena kurang lebih 6 tahun belakangan ini, konsep demokrasi elektoral – sebagai konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat- merupakan konsep yang sangat populer. Prinsip-prinsip demokrasi elektoral tidak hanya diyakini dalam dunia akademik, melainkan sudah menjadi rujukan utama dalam praktek politik dan pemerintahan di Indonesia. Setidaknya hal itu terlihat jelas dalam kerangka paradigmatik yang menjiwai politik regulasi nasional maupun tindakan-tindakan politik yang dilakukan oleh rezim pasca Soeharto, mulai dari rezim Habibie sampai dengan Megawati. Seperti pada umumnya penganut pendekatan elektoral, para akademisi dan praktisi politik dewasa ini merumuskan demokrasi sebagai pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Sehingga dalam merumuskan makna demokrasi, mereka selalu merujuk pada tiga hal yang paling elementer; partisipasi, kompetisi dan liberalisasi. Secara prosedural, ketiga hal pokok itu, dilembagakan dalam pemilihan umum dan lembaga perwakilan. Pemilu, merupakan arena kompetisi untuk menentukan pejabat-pejabat publik di eksekutif maupun legislatif. Partai politik dan parlemen merupakan dua institusi politik utama yang menjadi wadah artikulasi dan agregasi kepentingan publik.
Penekanan yang berlebihan pada elektoralisme menimbulkan beberapa kosekuensi: Pertama, demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah terbangun. Banyak kalangan sudah berpuas diri ketika sistem pemilihan langsung Presiden, Gubernur dan Bupati/ walikota berhasil terumuskan dalam agenda policy reform. Padahal, sistem pemilihan langsung itu tidak akan berarti apa-apa bagi demokrasi jika sistem itu justru menjadi “topeng” atau bahkan dibajak oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi.
Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral beresiko menimbulkan apa yang disebut Tery Karl dengan “kekeliruan elektoralisme” Kekeliruan elektoralisme ini terjadi ketika konsep itu mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang bisa ditimbulkan pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya, atau menciptakan arena-arena pembuatan kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat terpilih.
Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep demokrasi elektoral dalam menciptakan kepastian-kepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor di luar dimensi pemilu dan partai politik, seperti budaya politik dan legitimasi demokrasi. Budaya politik menyangkut pola keyakinan, nilai-nilai, ide-ide, sentimen dan sikap-sikap suatu masyarakat tentang sistem politik negeri mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem tersebut.
Keempat, demokrasi elektoral cenderung formalis dan prosedural sehingga gagal untuk menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk partisipasi dan kompetisi semu (ertzast). Mungkin saja terlihat ada perluasan partisipasi massa, namun partisipasi yang terjadi lebih dalam kerangka mobilisasi. Demikian pula dengan kompetisi politik, secara formal menurut kreteria demokrasi elektoral, pemilu multipartai sudah dilakukan secara bebas dan reguler, namun secara substansi kompetisi itu dilakukan dalam manifestasi kultural yang sama sekali berbeda. Sehingga demokrasi elektoral menjadi gagap dalam menjelaskan peranan para botoh dan perilaku mistis dari sebagian elite politik yang tengah melakukan kompetisi politik. Elektoral ternyata bukan satu-satunya ukuran dalam melihat demokrasi bekerja, akan tetapi ada banyak variabel lokal dan kultural yang menjadi penentu keberhasilan jalannya demokrasi di tingkat lokal.
Akhirnya, keempat kritik yang ditujukan pada demokrasi elektoral bukan sesuatu yang berlebihan. Karena pengabaian terhadap dimensi liberalisasi, budaya politik dan legitimasi demokrasi ini menimbulkan kosekuensi terbangunnya model demokrasi semu (pseudo democracy). Juan Linz mendefinisikan demokrasi semu sebagai sebuah kecenderungan dimana “keberadaan lembaga-lembaga politik demokratis secara formal, seperti pemilu multi partai menyebabkan dominasi kekuatan otoriter menjadi tidak kasat mata”. Dalam tipologi yang berbeda demokrasi semu berawal dari konsensus diantara para pemain-pemain politik untuk menggunakan prosedural dan institusi demokrasi secara formal, namun substansi permainan berada di luar skenario yang diinginkan oleh penganjur demokrasi elektoral. Sehingga akahirnya masyarakat menjadi kehilangan kontrol pada substansi maupun proses perumusan kebijakan publik.
Dengan demikian, indikator pertama keberhasil Pemilihan Kepala  Daerah adalah Pemilihan Kepala  Daerah seharusnya memberi ruang kebebasan bagi warga negara dalam mengekspresikan hak-hak dasar. Kedua, Pemilihan Kepala  Daerah berlangsung melalui kompetisi yang fair. Ketiga, Pemilihan Kepala  Daerah seharusnya menciptakan kepemimpinan politik yang berkualitas dan memiliki akuntabilitas yang tinggi. Dalam mewujudkan Pemilihan Kepala  Daerah yang berkualitas, ketiga indikator tersebut di atas, seharusnya teraktualisasi dalam setiap tahap penyelenggaraan Pemilihan Kepala  Daerah mulai dari tahap pendaftaran pemilih, sampai pada pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Akhirnya, untuk mencapai demokrasi yang lebih substantif berdasarkan indikator di atas, maka cara melihat keberhasilan Pemilihan Kepala  Daerah langsung harus diletakkan pada sejauhmana pencapaian dari sisi proses dan hasil. Dalam demensi proses, Pemilihan Kepala  Daerah langsung seharusnya dibaca sebagai sarana untuk memperdalam dan memperluas proses konsolidasi demokrasi di Indonesia secara kualitatif. Sedangkan dalam demensi hasil; Pemilihan Kepala  Daerah langsung seharusnya ditempatkan sebagai instrumen untuk mendapatkan kepemimpinan politik yang lebih akuntabel dan responsif dalam mengantarkan pelayanan publik dan kesejahteraan bersama yang lebih baik bagi warga-masyarakat di daerah




Problematika


Ada beberapa parameter keberhasilan Pemilihan Kepala  Daerah langsung secara kualitatif dari sisi proses, setidaknya bisa membantu kita untuk memetakan beberapa problematika yang mungkin muncul sekitar desain dan implementasi Pemilihan Kepala  Daerah langsung yang telah dilakukan di Indonesia.

1. Partisipasi Politik
Salah satu isu krusial dalam Pemilihan Kepala  Daerah langsung adalah persoalan partisipasi politik. Karena apa? Partisipasi warga negara dalam puilKepala Daerah memiliki kontribusi bagi pengembangan kualitas demokrasi kalau para partisipan memiliki kesadaran kritis dalam menggunakan hak-haknya. Ada beberapa poin penting dalam isu partisipasi politik ini: Pertama, kemungkinan tingkat partisipasi politik yang rendah dalam Pemilihan Kepala  Daerah Langsung. Indikasi kerah ini setidaknya bisa bersandar pada data hasil pemilu legislatif pada bulan April 2004 dan Pilpres putaran pertama dan kedua. Apa yang terjadi dalam pemilu legislatif dan Pilpres bisa saja akan berulang kembali dalam Pemilihan Kepala  Daerah Langsung. Dalam tiga putaran pemilu itu, terlihat dengan jelas bagaimana tingkat partisipasi pemilih di Indonesia secara kuantitatif dan kualitatif. Salah satu yang menarik dari data itu adalah tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan haknya dalam pemilu legislatif 2004. Bahkan beberapa media pernah membuat pernyataan bahwasanya partai politik yang memenangkan pemilu adalah partai Golongan Putih (Golput) karena jumlah golongan masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka 23,34 persen atau 34,5 juta rakyat.. Sebuah angka yang cukup besar dibandingkan dengan perolehan partai Golkar- yang memenangkan pemilu dengan 24,48 juta suara. Data statistik menunjukkan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilu 2004 hanya mencapai 84,07 % dari total 148 juta pemilih yang terdaftar. Sementara suara tidak sah mencapai 8,81 % dari total 124,42 juta pemilih yang mencoblos. Dari 34, 5 juta yang tidak menggunakan hak pilih itu, 23,5 juta diantaranya tidak datang ke tampat pemungutan suara. Pilpres putaran kedua juga ditandai dengan meningkatnya jumlah suara golput. Kalau dalam pemilu legislatif, jumlah pemilih yang mengambil sikap golput 23,34 persen maka dalam pemilihan presiden putaran kedua mencapai angka 35.583.483 (23,37 persen). Memang tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya tidak selalu bisa dibaca sebagai sikap Golput karena mungkin saja kesalahan administrasi-pencatatan maupun lemahnya sosialisasi pemilu (kesalahan dalam mencoblos). Namun, melihat prolog pemilu 2004 yang ditandai dengan semakin besarnya tingkat ketidak percayaan (distrust) masyarakat pada partai politik, parlemen dan pemilu, maka tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan haknya bisa dirasakan sebagai sebuah fenomena protes.
Kedua, kemungkinan kembalinya pola-pola partisipasi semu dalam Pemilihan Kepala  Daerah langsung; melalui instrumen mobilisasi massa pemilih dan buying votters. Keduanya bisa saling menguatkan, munculnya pemilih “siluman” sangat dekat dengan penggunaan uang dalam memperoleh dukungan. Bagiaman modusnya? Modus mobilisasi massa pemilih dalam Pemilihan Kepala  Daerah langsung ini setidaknya akan mirip dengan cara-cara yang digunakan pada pemilu Presiden puataran pertama- dimana seorang kandidat Presiden (walaupun tidak pernah dibuktikan) memobilsasi massa dari luar daerah ke sebuah Pesantren Al Zaitun di Jawa Barat. Dalam Pemilihan Kepala  Daerah langsung modus semacam bisa saja berulang, dimana kandidat yang bersaing akan memobilisasi massa dari luar Provinsi/ Kabupaten/ daerah dimana Pemilihan Kepala  Daerahl itu berlangsung. Peluang mobilisasi pemilih ini menjadi kuat di tengah “kelemahan historis” sistem administrasi kependudukan, karena mudah “disogok” sehingga memudahkan seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan KTP ganda.
Ketiga, kemungkinan munculnya diskriminasi terhadap pemilih berdasarkan etnisitas. Pentingnya faktor komposisi demografik berbasikan etnisitas dalam perhitungan politik masing kandidat yang bersaing dalam Pemilihan Kepala  Daerah langsung mengakibatkan akan ada upaya yang sistematik untuk memillah-milahkankan masyarakat berdasarkan sentimen etnisitas, seperti dalam kategori pribumi dan pendatang. Dalam konteks semacam ini akan muncul tindakan-tindakan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok pemilih yang dianggap tidak menguntungkan posisi politik dari beberapa kandidat.
Ketiga poin krusial dalam partisipasi ini memerlukan langkah-langkah yang serius dari penyelenggara Pemilihan Kepala  Daerahl untuk memikirkan kembali beberapa hal: format pendidikan politik bagi warga agar bisa menggunakan hak pilihnya secara berkualitas; dimana pemilih memiliki kesadaran kritis dan bisa menentukan pilihan secara otonom. Salah satu kesadaran kritis yang perlu dimiliki oleh warga negara adalah bahwa Pemilihan Kepala  Daerah adalah persoalan penentuan orang yang akan mementukan nasibnya. Selain itu perlu ada penataan kembali manajemen pendaftaran pemilih sehingga menghindari munculnya warga yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya; men-desain early warning system dalam mencegah secara dini mobilisasi pemilih; menghindari aturan-aturan yang diskriminatif.

2. Kompetisi Politik
Dalam isu kompetisi politik ada problematika yang sedang dan mungkin muncul dalam Pemilihan Kepala  Daerah langsung: Pertama, kompetisi politik yang terjadi Pemilihan Kepala  Daerah langsung tidak berjalan dengan berkualitas ketika lembaga penyelenggara pemilu tidak kompeten dan kredibel. Kedua hal tersebut seringkali dipertanyakan ketika dalam pasal 37 UU no. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Pemilihan Kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Hal ini ditegaskan lagi dalam pasal 67 ayat (1) butir c yang menyatakan KPUD berkewajiban menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahpa pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat. Atau butir e dalam pasal yang sama dimana KPUD berkewajiban mempertanggujawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Pertanggungjawaban penyelenggaraan Pemilihan Kepala  Daerah langsung oleh KPUD ke DPRD tentu menimbulkan sejumlah kontroversi ketika UU no. 12 tahun 2003 secara jelas menempatkan KPU sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Ketika UU no. 32 Tahun 2004 menempatkan KPUD dibawah dan bertanggungjawab pada DPRD maka sudah dipastikan akan muncul problematika dari sisi independensi-nya. Karena KPUD akan sangat mudah diintervensi atau juga “dikerjai” oleh kekuatan politik dominan yang menguasai DPRD. Disamping itu, ada beberapa pasal dalam UU no. 32 tahun 2004 yang juga “mengebiri” kewenangan KPUD sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala  Daerah langsung. Misalnya, pasal 82 ayat (2) dimana DPRD mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi pembatalan sebagai calon apabila melakukan money politics.
Selain itu, amanat UU no. 32 tahun 2004 yang menyerahkan kewenangan tata cara persiapan dan semua tata pelaksanaan Pemilihan Kepala  Daerah kepada pemerintah dalam bentuk PP akan memungkinkan intervensi kepentingan politik Jakarta (pemerintah pusat) dan akhirnya KPUD menjadi tidak kredibel. Diluar itu, intervensi pemerintah pusat juga dimungkinkan oleh pasal 109 dalam pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur; Bupati maupun wakil bupati.
Faktor kopetensi juga menjadi pertanyaan karena KPUD belum berpengalaman dalam membuat perencanaan teknis pelaksanaan pemilihan umum, padahal menurut UU no. 32 tahun 2004, tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala  Daerah sangat besar. Kewenangan yang besar tanpa diimbangi oleh supervisi, asistensi teknis tentu akan menimbulkan problematika serius dalam teknis penyelenggaraan Pemilihan Kepala  Daerah di daerah.
Kedua adalah kredibilitas dan kopetensi Panitia Pengawas. Belajar dari pengalaman pemilu legislatif dan Pilpres, keberadaan lembaga pengawas seringkali tidak bisa berjalan dengan maksimal. Tidak maksimal-nya fungsi pengawasan ini salah satunya karena lembaga pengawas tidak bisa menjadi lembaga yang independen. Peluang ke arah berkurangnya kemandirian lembaga pengawas ini semakin besar ketika UU no. 32 Tahun 2004 menyatakan Panitia Pengawas dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.
Ketiga adalah netralitas birokrasi-pemerintahan daerah. Netralitas ini menjadi persoalan krusial ketika beberapa minggu ini di beberapa tempat sudah mulai muncul indikasi aparat birokrasi didayagunakan dan dikerahkan untuk mendukung kandidat yang ingin mencalonkan diri kembali. Kasus penolakan Penjabat Bupati di Kabupaten Kutai kertanegara menunjukkan bagaimana rentannya posisi birokrat dalam persaingan politik di daerah. Problematika ini terkait dengan beberapa isu; langkah-langkah politik dari Gubernur/ Bupati/ Walikota yang berakhir masa jabatannnya terutama dalam kasus pembiayaan Pemilihan Kepala  Daerah; dan posisi politik dari penjabat kepala daerah
Keempat adalah mengenai pembiayaan Pemilihan Kepala  Daerah. Persoalan di seputar pembiayaan akan terkait dengan kerdibilitas dan kapasitas KPUD dalam menyelenggarakan Pemilihan Kepala  Daerah. Ada beberapa isu yang berkaitan dengan pembiayaan Pemilihan Kepala  Daerah: (a). keterbatasan anggaran ketika terjadi kesenjangan antara kebutuhan anggaran yang diajukan oleh KPUD dengan realisasi yang disetujui oleh DPRD. (b). politisasi pembiayaan Pemilihan Kepala  Daerah, dimana posisi tawar yang dimiliki oleh kekuatan politik dominan atau Kepala daerah yang ingin mencalonkan diri sangat besar dalam menentukan anggaran dan posisi itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. (c). problem transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran oleh KPUD.
Kelima berkaitan dengan kemandirian dan koptensi Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sengketa hasil Pemilihan Kepala  Daerah. Seperti yang diamanatkan oleh pasal 106 UU no. 32 Tahun 2004, bahwa Mahkamah Agung berwenang memutuskan sengketa hasil Pemilihan Kepala  Daerah yang bersifat final dan mengikat. Pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung untuk memutus sengketa hasil pemilu disamping kontroversial kalau disandingkan dengan UU no. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, juga karena MA diragukan kredibilitasnya oleh publik (dengan munculnya isu Mafia peradilan) dan dari sisi kemampuannya, terutama dalam memutuskan dengan kurun waktu maksimal 14 hari (bagaimanapun MA dikenal mempunyai tumpukkan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan)
Keenam menyangkut political equality (persamaan kesempatan untuk berkompetisi) ketika UU no. 32 tahun 2004 dalam pasal 56 ayat 2 menyatakan bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPRD atau 15 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu legislatif di daerah bersangkutan. Pembatasan pasangan calon Kepala Daerah yang hanya berasal dari Parpol atau gabungan parpol akan menimbulkan beberapa kosekuensi: (a) Makin terbatasnya preferensi dari pemilih dalam mendapatkan figur-figur yang berkualitas. Karena banyak figur-figur yang memiliki kompetensi tinggi- justru pilihan politik mereka berada diluar – dan tidak bersedia masuk menjadi partisan partai politik. Kalaupun calon independen ini akhirnya masuk dalam bursa kompetisi intrenal partai politik maka posisi tawar mereka cenderung sangat lemah; (b) Politik satu pintu membuat pintu menjadi sesak dan selanjutnya akan memperluas konflik internal dalam partai politik. Dalam pertarungan internal sudah dapat dipastikan akan digunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan; seperti penggunaan kekuatan uang, mobilisasi dukungan, premanisme dan juga manipulasi wacana (isu kader dan non kader/ kutu loncat/ anak kos dan sebagainya); dan (c) Hal di atas diperparah dengan fakta empirik yang menyatakan bahwa tidak semua parpol mau dan mampu mengembangkan mekanisme yang demokratis dalam menominasi calon yang diajukan. Seringkali yang justru muncul adalah cara-cara oligarkis yang memungkinkan segelitir elite memanfaatkan kesempatan untuk mendominasi proses pencalonan Kepala Daerah.

3. Civil Liberties (Kebebasan Sipil)
Dalam demensi kebebesan sipil ada dua hal yang bisa menjadi problem krusial: Pertama, munculnya ketakutan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya karena penggunaan cara-cara kekerasan; premanisme, intimidasi secara fisik dan teror.
Kedua, munculnya ketakutan dari pemilih untuk menggunakkan hak pilihnya karena menguatnya penggunaan wacana anti pluralisme- dimana orang takut memilih pilihan yang berbeda. Wacana anti pluralisme ini misalnya berbasiskan pada isu pribumi-pendatang; kekerabatan; maupun agama.
Ketiga, adanya pembatasan kebebasan pada warga pemilih dalam memperoleh informasi tentang kandidat yang bersaing. Atau bahkan munculnya manipulasi informasi, dalam bentuk politik pencitraan tanpa ada ruang bagi pemilih untuk mengetahui track record calon Kepala Daerah.

4. Kepemimpinan yang akuntabel
Proses demokrasi di aras lokal tidak berhenti sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah, melainkan harus lebih luas dan dalam termasuk menyangkut apakah kepimpinan politik-pemerintahan yang terpilih melalui Pemilihan Kepala  Daerah bisa berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak. Pemilihan Kepala  Daerah langsung bisa dianggap “gagal” apabila kepemimpinan politik-pemerintahan yang terbangun justru merepresentasikan kepentingan segelitir elite politik (oligarkis) yang berkuasa.
Oleh karena, Pemilihan Kepala  Daerah langsung- yang memungkinkan warga memilih pemimpin mereka secara langsung- harus diikuti oleh perluasan voice, akses dan kontrol masyarkat untuk terlibat secara partisipatoris dalam proses-proses kebijakan. Karena melalui model demokrasi partisipatoris itulah warga –masyarakat akan mempunyai kesempatan untuk mengimbangi model demokrasi perwakilan dan perwalian. 

0 komentar:

Posting Komentar