Sabtu, 31 Maret 2012

Kenaikan Harga BBM Tertunda

Akhirnya rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) telah diputuskan pada Sabtu, 31 Maret 2012. Keputusan ini diambil melalui voting pada rapat paripurna DPR yang berakhir pukul 01.00 dini hari.  Dapat dipastikan bahwa harga BBM tidak akan mengalami kenaikan per 1 April hari ini.
Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, akhirnya pilihan mengerucut pada 2 opsi. Opsi pertama menyatakan secara bulat menolak kenaikan harga BBM. Sedangkan opsi yang kedua menekankan pada pemberian wewenang kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM jika harga minyak mentah (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami kenaikan / penurunan rata-rata 15% atau lebih dari harga yang telah disepakati dalam APBN-P 2012, yaitu sebesar USD 105/barel selama kurun waktu 6 bulan. Opsi pertama didukung oleh 82 anggota DPR dari PKS dan Gerindra, sedangkan opsi kedua didukung oleh 356 anggota DPR dari Demokrat, Golkar, PAN, PKB, dan PPP. Partai Hanura dan PDIP (93 orang) melakukan walk out pada saat  voting dimulai.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa paling tidak selama 6 bulan kedepan tidak akan terjadi kenaikan harga BBM di Indonesia.
Dibalik Subsidi BBM
Rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM disebabkan oleh membengkaknya konsumsi BBM yang sebelumnya ditetapkan sebesar 40 juta kiloliter untuk APBN 2012. Bedasarkan data empiris bulan Januari-Februari 2012, konsumsi BBM bersubsidi mengalami kenaikan sebesar 18% menjadi 47,8 juta kiloliter. Informasi ini berdasarkan paparan dari menteri keuangan RI, Agus Martowardojo. Jika harga BBM tidak dinaikan akan terjadi peningkatan jumlah subsidi BBM sebesar 24,6 triliun. Dengan demikian total jumlah subsidi energi akan menjadi 290,6 triliun (BBM, listrik, dan cadangan risiko energi) atau setara dengan 20% dari anggaran Negara tahun 2012.
Selain itu kenaikan harga minyak dunia yang terus melambung dan sempat menyentuh harga USD 122 perbarel pada bulan Februari juga menjadi pertimbangan dalam menaikan harga BBM. Kondisi dunia yang terus bergejolak seperti saat ini memicu pergerakan harga minyak dunia semakin liar. Disisi lain,Indonesiasaat ini telah menjadi negara net importir minyak. Total lifting berdasarkan asumsi APBN-P 2012 sebesar 930.000 bpd. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, pemerintah harus melakukan impor minyak mentah sekitar 500,000 bpd. Oleh karena itu dengan naiknya harga minyak international, maka anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk mengimpor minyak tersebut akan semakin besar. Kondisi ini dipandang akan semakin memberatkan APBN 2012, terlebih jika terjadi defisit anggaran lebih dari batas aman 3% seperti yang diamanatkan dalam undang-undang.
Lantas, apakah betul jika harga minyak naik pemerintah akan semaki tekor? Sebenarnya tidak seratus persen benar. Ingat meskipun kita net importir minyak, tapi negara masih memiliki kemampuan untuk memproduksi minyak sebesar 930.000 bpd. Jumlah ini sebagian di olah menjadi BBM melalui kilang-kilang pertamina dan sebagian lagi di ekspor ke pasar luar negeri. Biaya yang dikeluarkan untuk megolah minyak mentah menjadi BBM sekitar 15 dollar per barel. Ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah selain biaya recovery yang diberikan kepada KKS.
 


Dari biaya yang dikeluarkan tersebut, pemerintah menjual BBM bersubsidi sebesar 4,500 per liter. Pemasukan dari jualan BBM subsidi ditambah dengan hasil jualan minyak mentah yang diekspor keluar negeri sebetulnya lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan untuk proses pengolahan minyak dan biaya recovery. Dari sini sebenarnya pemerintah masih untung. Namun demikian, keuntungan tersebut akan semakin kecil karena digunakan untuk membeli minyak impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 500,000 bpd. Jika dihitung selisih total antara pendapatan yang diterima pemerintah dengan total biaya yang dikeluarkan, menurut perhitungan para ahli sebenarnya pemerintah masih untung sebesar kurang lebih 90 triliun rupiah. Keuntungan ini menjadi salah satu sumber pendapatan APBN. Jadi dari sudut pandang ini sebernanya pemerintah tidak tekor sama sekali.
Dengan naiknya konsumsi BBM bersubsidi di dalam negeri dan naiknya harga minyak dunia, akan berpotensi untuk menurunkan pendapatan yang diterima oleh pemerintah. Oleh karena itu, dikhawatirkan kondisi ini akan berdampak pada stabilitas anggaran negara, yaitu membengkaknya defisit APBN melebihi 3%.
Demo yang ‘Rusuh’ dan ‘Anarkhis’
Rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 1 April telah mendapat tanggapan yang cukup luas dari masyarakatIndonesia. Demo untuk menentang kenaikan harga BBM berlansung hampir diseluruhkotabesar diIndonesia, sepertiJakarta, Makasar,Bandung,Medan, Yogjakarta,Surabaya, dll.
Demo sebenarnya hal yang biasa saja terjadi terutama di iklim demokrasi seperti sekarang ini. Namun sangat disayangkan jika demo-demo tersebut berjalan dengan ‘rusuh’ dan ‘anarkhis’. Lihat saja aksi pengrusakan fasilitas umum terjadi dimana-mana, bentrokan dengan aparat keamanan, penutupan jalan/tol, bandara, dan fasilitas umum lainnya. Demo yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tersebut ternyata dilakukan dengan cara menginjak-nginjak kepentingan rakyat. Aksi demo yang tidak santun dan tidak beretika ini sungguh sangat disayangkan, terlebih jika pelakunya berasal dari kalangan intelektual. Ternyata, cara penyampaian aspirasinya tidak ada unsur intelektualnya sama sekali.
Lantas jika demo tersebut mengatasnamakan rakyatIndonesia, rakyat yang manakah yang mereka wakili? Berapa persen rakyat yang mereka wakili untuk melawan legitimasi pemerintah yang didukung oleh lebih dari 50% rakyatIndonesia? Lebih dari separo rakyatIndonesiatelah memberikan amanat kepada pemerintah yang sekarang berkuasa melalui pemilu 2009. Saya yakin pemerintah telah cukup matang untuk berhitung sebelum membuat keputusan/kebijakan. Kalaupun tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, mari kita hukum pemerintah dengan tidak memilihnya lagi pada pemilu yang akan datang. Mungkin ini cara yang lebih arif daripada harus melakukan aksi rusuh yang sangat sangat mengganggu ketertiban umum dan menginjak-injak kepentingan rakyat yang seharusnya kita lindungi bersama
DPR yang Seperti ‘Taman Kanak-Kanak’
Selama mengikuti sidang paripurna DPR, tidak henti-hentinya saya menggeleng-gelengkan kepala. Saya tidak habis pikir dengan ulah yang dilakukan oleh sejumlah wakil rakyat tersebut. Proses sidang paripurna di DPR sama sekali tidak menunjukkan sikap yang santun dan beretika. Banyakclometan  dari sejumlah anggota sidang. Terkesan sejumlah anggota DPR selalu ngotot setiap kali menyampaikan pendapat, tidak menghargai pendapat orang lain, tidak bisa diatur, dan penuh dengan emosi. Melihatnya saja sudah bikin ‘capek’.
Mungkin apa yang pernah dikatakan oleh almarhum ‘Gusdur’ itu benar, bahwa DPR seperti layaknyaTamanKanak-kanak (TK). Setidaknya itu bisa terlihat dari proses yang terjadi selama sidang paripurna kemarin. Padahal sidang ini ditonton oleh jutaan rakyatIndonesiadan dari segala golongan umur.  Tontonan sidang paripurna yang seharusnya bisa menjadi pendidikan gratis bagi generasi muda Indonesia, seakan berbalik menjadi tontonan yang sungguh cukup ‘memalukan’ dan sangat ‘tidak mendidik’ yang tidak patut untuk ditonton oleh generasi penerus bangsa.
Sejumlah partai politik juga terkesan hanya ingin mendapat simpati masyarakat melalui trik-trik tertentu yang mengatasnamakan ‘rakyatIndonesia’. Padahal belum tentu mereka melakukannya dengan tulus atas nama rakyatIndonesia. Bisa jadi mereka hanya ingin mengambil hati rakyat untuk mengamankan suara pada pemilu legislatif tahun 2014 mendatang. Saya rasa rakyatIndonesiasudah cukup dewasa dan cukup cerdas untuk menilai mana-mana parpol yang jujur dan mana-mana parpol yang hanya mencari simpati saja. Pemilu 2014 akan menjadi pembuktian akan kecerdasan rakyat Indonesi. Saya berharap rakyat akan memilih dengan hati yang bersih, dan bukan karna amplop-amplop yang dibagikan oleh oknum-oknum parpol peserta pemilu.
Jika Harga BBM Naik
Dengan disepakatinya opsi kedua dan telah diputuskannya UU APBN-P tahun 2012, dengan demikian memberikan ruang gerak kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM. Lantas apa implikasinya jika harga BBM pada akhirnya dinaikan?
Secara kasat mata, memang kenaikan harga minyak ini akan menurunkan daya beli masyarakatIndonesiaterutama dari golongan ekonomi rendah. Kenaikan ini akan memicu terhadap kenaikan sejumlah harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat yang berimplikasi terhadap tingginya inflasi. Inflasi yang tinggi dan tidak terkendali bisa mendorong BankIndonesiauntuk menaikkan suku bunga acuan yang sekarang sudah mencapai 6%. Dengan naiknya suku bunga acuan ini tentu saja akan mematikan perkembangan sektor riil. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan terhadap perkembangan dunia investasi diIndonesia.
Namun demikian, kenaikan harga BBM bukan berarti tidak ada dampak positifnya. Saya setuju jika pengurangan subsidi BBM ini dialihkan ke sektor-sektor yang lebih mengena kepada kepentingan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan penciptaan lapangan kerja. Keempat sektor ini menurut saya cukup vital untuk mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah.
Meskipun daya saing infrastruktur Indonesia mengalami kenaikan, pada tahun 2011Indonesiamasih menempati urutan ke 76 di dunia (berdasarkan data dari World Economi Forum). Menurut WEF tersebut, kondisi pelabuhan khususnya dan kondisi infrastruktur lainnya diIndonesiamasih belum menunjukan tanda-tanda perbaikan. Masih banyak ‘PR’ yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk terus memperbaiki infrastruktur diIndonesia. Tentu saja semua upaya ini memerlukan anggaran yang tidak sedikit.
Sudah cukup lama rakyatIndonesiadimanjakan dengan subsidi BBM. Jika kandungan minyak bumiIndonesiasebanyak negara-negara di Timur-Tengah, maka bolehlah rakyat kita dimanjakan dengan tingginya subsidi. NamunIndonesiasudah menjadi net importir minyak dan kecenderungan produksi minyak bumi nasional terus turun dari tahun ke tahun. Pemerintah lebih baik memberikan umpan dan kail kepada masyarakat daripada harus memberikan ikan karena ini tidak mendidik dan akan membudayakan masyarakat untuk cenderung konsumtif.
Tingginya subsidi BBM juga telah mematikan perkembangan terhadap pencarian energi alternatif. Industri energi alternatif seperti biodiesel dan bio-ethanol masih kalah bersaing dengan harga BBM bersubsidi sehingga menjadi tidak ekonomis. Tidak banyak dan bahkan sangat jarang ada swasta yang berani bermain di sektor ini untuk memproduksi energi alternatif dan bersaing dengan BBM. Padahal jika BBM tidak disubsidi, energi alternatif tersebut bisa bersaing dengan BBM pada tingkat yang cukup ekonomis.
Tidak menaikkan harga BBM bukan berarti Indonesiaakan aman-aman saja. Begitupun  sebaliknya, menaikkan harga BBM bukan berarti menjadi satu-satunya solusi. Pemerintah dan masyarakat harus sadar bahwa cadangan minyak Indonesiasudah semakin menipis. Diversifikasi penggunaan energi diIndonesiasudah menjadi sebuah keharusan. Pencarian energi alternatif sudah tidak bisa ditunda lagi. Penghematan energi harus sudah menjadi langkah bersama. Gontok-gontokan, demo yang anarkhis sudah bukan jamannya lagi. Gerakan “Ganyang” pemerintah juga bukan merupakan solusi. Sekarang saatnya kita, segenap rakyatIndonesia, untuk bersatu, bekerja bersama-sama untuk membangun bangsa. Dengan bersama, kita akan menjadi kuat, dan tidak akan mudah untuk diobrak-abrik oleh bangsa lain yang ingin memanfaatkan kekayaaanIndonesia. (end)
NB: Beberapa data dan angka pada tulisan diatas hanya pendekatan dan mungkin tidak cukup presisi

PERIHAL MIMPI


            “Tinggalkan ayah tinggalkan ibu,,izinkan kami pergi berjuang”,,teriak nyanyian Pasukan Jatinangor panas- panas saat lari tadi siang,,capek yang dirasa d tiap langkahnya,apalagi saat track tikungan setan yang menanjak. Tapi suka sama kamu itu lebih bikin capek,
aku capek terus berhayal tentang kamu,
aku capek ketika rapat berlangsung,tiba- tiba teringat kamu,,”Dik kau nglamun saja,push up dulu”(printah senior)
Aku capek kalo tiap bangun tidur harus bilang “ah,,Cuma mimpi”
Aku capek sebentar- sebentar ngecek inbox, memenuhi rasa was- was, ada balasan dari kamu gak ya?
            Ini memang bukan hal yang gampang untuk bisa menulis tentang kamu. Seseorang yang gak bosennya ngendap di pikiranku. Aku bukan tipe psiko atau posesif yang akan menguntit kemana kamu pergi, mengetahui segala hal tentang kamu, tapi entah mengapa rasa suka ini seperti memaksaku bertindak semacam itu. Sekuat tenaga aku bersikap sedingin es kepadamu,tapi tetap saja es akan mencair melihat anggunnya dirimu,walau sebatas di foto, memang kita belum pernah bertemu, bertatap muka. Di tengah padatnya kegiatan di ksatrian ini, aku sempatkan untuk menulis sesuatu yang mungkin gak perlu ini karna seakan kamu sangat jauh di mato, tapi jenuh juga sih selalu nulis perihal materi pemerintahan yang gak ada habisnya. Aku harap dengan tulisan ini aku bisa keluarkan segala uneg- uneg yang sebenarnya, bisa bebas aja untuk ungkapin perasaanku. Temanya adalah dia, iya masih dia.dengan seribu cerita misteri tentang kehidupannya yang gak akan pernah habis  buat aku bisa menuliskannya di sini. Oh God,,,it hurts my pride when I know I love him. This is not what it`s supposed to be. So so so embarrassing,,,
            Selalu ada saat di mana otak, hati dan bibir gak bisa bekerja sama, gak bisa sinkron. Dan itu semua terjadi setiap kali aku mencoba menguak 1 rahasia kecil lainnya dalam hidupnya, sosok yang slalu memberikan mimpi buruk bagiku,,(macam senior saja),,hehe. Ya mimpi buruk, karena tak mudah hidup menjadi aku yang hanya bisa berharap cuti lebaran dan tahun baru, terpenjara di lembah gunung berabad- abad layaknya avatar,bisa bertemu dengannya dengan sejuta cerita tentang tempat di mana dia menimba ilmu, menantikan cerita- cerita lucunya, dan sesekali berhayal ketika aku mendatangi dia di tengah malam dingin ketika jaga posko nusantara sembari mengucap satu kata ala remaja. “I`m here cause I miss you”
            Rasanya berat, sumpah ana zuzur,,berat untuk bisa ungkapin siapa dia, lebih berat daripada ujian samapta di tengah siang bolong. Jangankan verbal, non verbalpun aku tak kuasa. Menulis tentang dia rasanya seperti menulis tentang sebagian besar dari mimpi- mimpiku. Ya aku memang sempat memimpikan untuk slalu bisa bersamanya, bersama dia, sosok yang tak pernah bisa aku ungkapkan seperti apa bentuk dan rupanya. Awalnya aku begitu takut dengan perasaan yang begitu bergejolak ini. Bukan, aku memang tidak pernah mengartikan sebagai perasaan sayang, apalagi cinta,,tetapi lebih pada simpati, kagum, heran dan akhirnya awfully addictet to know more. Apa sih yang ada dalam diri kamu? Seperti narkoba yang terus membuatku kecanduan, tak bisa berhenti. Andai narkoba seindah kamu ya,,haha
            Aku benar- benar berharap bahwa kamu adalah jawaban dari doa yang kupanjatkan selama ini. God, I truly believe that you listen everything I ask to You. Subhanallah, kadang aku berfikir betapa Tuhan menyayangiku  lebih dari apapun yang pernah aku tau di bumi ini. Mendengarkan segala pintaku, membawaku dalam rencana indahnya. Ahh taruhlah aku suka kamu, but nope! I mean, jangan. Not now! You need to ensure something. Something about how she feels, don’t  hurt your pride even more! Ok, so listen up, I can write anything i want about you, no matter what, but keep it secretly, I mean don’t even mention any clues that will knock you down if he knew it.
            Taukah kamu,aku sering diam daripada hanya untuk menyapamu. Karena diamku ini adalah selalu memikirkanmu. Perasaan ini membuatku takut. Aku takut kamu tau bagaimana perasaan ku. Aku takut kamu tertawa di atas perasaan kecil ini, melihat sifat- sifatmu yang tidak semua aku mengerti. Aku takut kamu menjauh setelah tau mungkin perasaan ini benar- benar ada. Aku sendiri juga gak yakin akan eksistensi dari perasaan ini, perasaan yang bisa membuatku bergejolak hebat tak karuan, tapi juga bisa membuatku menangis pedih ketika kamu mulai bertingkah dengan segala ego mu.  Kurang ajar, tak ada yang bisa aku perbuat untuk mengingkari keindahan- keindahan yang ada di kamu, akan semua warna yang membuatku silau, dan dan tak lagi mampu membuatku melihat jelas akan semua kekurangan dan kelebihanmu, semua bercampur menjadi satu. Kamu yang gak ada capeknya ngendap di kepalaku, siapa sih sebenarnya kamu, yang begitu mudah dan seenaknya datang dan pergi begitu saja, kamu pikir aku ini apa? Jembatan? Warung? Halte?,,Tempat di mana setiap orang bisa freely come and pass by
            Virus Pembodohan masal meraja lela, ternyata memang benar kata Prof. Ermaya. Tiada yang menyuruhku layaknya romusha untuk mencintaimu. Aku juga tidak bisa menyalahkanmu,karena sebelumnya tak ada kontrak bermaterai hukum untuk aku bisa menuntut kamu. Yah semua memang salahku, terakhir,,,satu harapan kosongku dengan harap di tengah penantianku yang panjang,”Jangan tinggalkan aku”, aku takut jika kamu pergi meninggalkan aku. Perihal mimpiku, semoga Dia memberikan jawaban dari doa layaknya doa yang selalu aku panjatkan sebelum aku terlelap dan memimpikanmu.
Selalu menantimu,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
dan menanti,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,


Kamis, 29 Maret 2012

OTONOMI DAERAH DAN HAK LEGISLASI


PENDAHULUAN          
Yang dimaksud dengan pemerintah daerah dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 adalah kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) dan DPRD.  Maka indikator kemampuan pimpinan pemerintah daerah tiada lain adalah karakteristik kepala daerah dan DPRD. Hal ini dapat terlihat melalui hubungan antara kepala daerah dengan DPRD berikut mekanisme yang berlaku dari masing-masing unsur pemerintah daerah tersebut.
Konstruksi tersebut dimaksudkan untuk mempertegas kedudukan kepala daerah dengan DPRD sebagai satu  kesatuan lembaga yang tak terpisahkan dalam kelembagaan pemerintahan daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terdapat pembagian tugas yang jelas dan berada pada kedudukan yang sama tinggi antara kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah memimpin eksekutif yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan Bupati/Walikota dan DPRD memimpin legislatif yang dipimpin oleh seorang Ketua.
Oleh karena itu setelah mempelajari sub-modul 7 ini, maka pembaca diharapkan dapat:
1.        Memahami tentang otonomi daerah dan hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas.
2.   Memahami tentang mekanisme penyusunan peraturan daerah, baik yang berasal dari inisiatif DPRD maupun inisiatif kepala daerah.



Hak Legislasi

Sebagai unsur pemerintah daerah, Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan hubungan kerja memiliki fungsi dan kewajiban masing-masing. Tentu fungsi yang berhubungan dengan eksekutif merupakan tanggungjawab Kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Fungsi yang berhubungan dengan legislatif merupakan tanggungjawab DPRD. Kedudukan dan dan fungsi kepala daerah sebagai salah satu unsur pemerintah daerah di samping DPRD ditegaskan dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 pasal 44 sebagai berikut:
1.        Kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama dengan DPRD.
2.        Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD
Sedangkan dalam pasal 43 ayat (g) disebutkan bahwa kepala daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai peraturan Daerah bersama dengan DPRD.
Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, peranan Kepala Daerah diharapkan mampu memahami perubahan yang terjadi secara cepat dan tepat dalam perspektif  nasional maupun international. Keberhasilan untuk menyesuaikan perubahan akan sangat ditentukan oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) sejauhmana dapat mengembangkan visi dan misi organisasi.
Dengan demikian kedudukan dan peranan Kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kelihatan memiliki peran ganda, di satu sisi kepala daerah yaitu sebagai fungsi eksekutif dalam hal ini sebagai penanggungjawab dan memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan disisi lain memiliki fungsi legislasi yaitu fungsi menetapkan peraturan daerah bersama dengan DPRD.
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimensi penting dari perubahan tersebut adalah menyangkut hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah yang berpeluang sangat dinamis. Hubungan ini bernuansa baru yang berbeda sama sekali dengan apa yang telah berlangsung selama 25 tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana hubungan antara diantara kedua lembaga tersebut sangat tidak seimbang, hal ini dapat dimengerti karena konteks politik yang terjadi pada masa orde baru tidak memberi peluang bagi terciptanya kelembagaan politik yang seimbang. Pada masa orde baru ada usaha yang dilakukan secara sistematik untuk menjadikan DPRD menjadi tidak berfungsi sebagai badan legislatif.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menempatkan DPRD dalam posisi yang lebih kuat dari DPRD pada masa sebelumnya. Pasal 16 ayat 2 menyatakan bahwa “DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah”. Dengan pasal ini, maka Kepala Daerah tidak dapat lagi menafikan keberadaan DPRD, dan harus dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijaksanaan publik di Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka otonomi daerah menuju kemandirian lokal, memerlukan inovasi-inovasi baru dalam bidang pemerintahan secara keseluruhan. Jadi sudah harus dipikirkan bagi kepentingan pemerintahan dimasa depan sebuah pola interaksi antara Eksekutif dan Legislatif di Daerah dengan menciptakan mekanisme Checks and Balances di tingkat lokal. Untuk mewujudkan hal tersebut maka mekanisme Checks and Balances memberikan peluang kepada kedua lembaga, baik eksekutif maupun ledislatif, untuk saling mengontrol, mengawasi dan mengimbangi. Didalam mekanisme seperti ini memang semua kebijaksanaan publik pada tingkat lokal harus melibatkan kedua belah pihak
Selanjutnya jika dahulu DPRD merupakan satu kesatuan dengan Kepala Daerah beserta perangkatnya, maka dalam sistem baru ini tidak lagi seperti itu. Dalam pasal 14 ayat (1) secara tegas dinyatakan bahwa : “Di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah”. Sementara itu yang dimaksudkan dengan Pemerintah daerah adalah hanya Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. Dari ketentuan ini, kedudukan diantara dua lembaga tersebut bersifat “sejajar dan sekaligus menjadi mitra” (pasal 16). Jadi ini merupakan perubahan yang sangat mendasar dibanding Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Ketentuan ini merupakan ide baru yang konkrit sebagai indikasi adanya misi demokrasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. DPRD secara “de yure” menempati posisi yang sangat kuat dan setara dengan k  ekuasaan eksekutif. Sedangkan secara “de facto” masih harus kita buktikan dalam praktika penyelenggaraan pemerintahan di daerah, apakah lembaga ini benar-benar mampu menciptakan “checks and balances” dengan pihak eksekutif. Sehingga segala sesuatunya terpulang kembali kepada DPRD  itu sendiri untuk mampu tidaknya memainkan peranan yang diharapkan oleh warga masyarakat.
Berdasarkan fungsi dan peran tersebut, maka pengangkatan kepala daerah memerlukan pertimbangan yang cermat dan matang sehingga dapat memenuhi persyaratan dalam rangka memenuhi fungsi yang bersifat ganda tersebut. Sebagai kepala wilayah ia harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan yang dipercaya oleh pemerintah pusat, sedangkan sebagai kepala daerah otonom ia harus diterima dan mendapat dukungan dari rakyat yang ada di dearahnya.
Mengingat  fungsi dan peran kepala daerah yang begitu berat, maka diperlukan persyaratan yang cukup baik sebagai alat untuk menjaring agar seseorang dapat dipilih sebagai kepala daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 33 tercantum syarat-sayarat yang dapat ditetapkan sebagai kepala daerah sebagai berikut:
1.        Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.        Setia dan taat kepada negara kesatuan Republik Indonesia dan pemerintah yang sah.
3.      Tidak pernah terlibat dalam kegiatan menghianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan  
      Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang dinyatakan dengan Surat Keterangan Ketua Pengadilan negeri.
4.        Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingka Atas dan/atau sederajat.
5.        Berumur sekurang-kurangnya tiga puluh tahun
6.        Sehat jasmani dan rohani
7.        Nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya
8.        Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana
9.        Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri
10.    Mengenal daerah dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya
11.    Menyerahkan daftar kekayaan pribadi, dan
12.    Bersedia dicalonkan menjadi kepala daerah.(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 3)
Persyaratan tersebut dalam penerapannya bisa ditafsirkan secara elastis, karena sifatnya yang terlalu umum dan tidak merujuk pada syarat-syarat khusus bagi jabatan kepala daerah. Untuk menduduki jabatan kunci, (Geral D.Grovers 1991) memandang perlu pertimbangan kriteria untuk menganalisa selekasi calon pejabat sebagai berikut:
“…some of the characteristic which are more important for potential candidates are: communication skill, knowledge of interpersonal behaviour, skill and technical capacity, organization and political sensitivity”(Beberapa dari karakteristik yang sangat penting bagi calon yang berpotensi adalah : Kecakapan berkomunikasi, pengetahuan dari perilaku antar peribadi, kecakapan dan kemampuan teknis, kepekaan organisasi dan politik. Gerald D Groves, : 1991).
Untuk memenuhi tuntutan dari kedua fungsi kepala daerah telah ditetapkan tata cara pencalonan, pemilihan dan pengangkatannya. Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 pasal 34 disebutkan bahwa:
1.         Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui  
       pemilihansecara bersamaan.
2.        Calon Kepala daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah di tetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan Pemilihan.
3.        Untuk pencalonan dan pemilihan  kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk panitia pemilihan
Dengan demikian seorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah melalui mekanisme pencalonan dan pemilihan yang ditetapkan melalui tata tertib DPRD. Sehingga dapat dimaknai bahwa penacalonan kepala daerah tidak dapat dilakukan secara individu, melainkan harus melalui dukungan anggota DPRD melalui fraksi-fraksi yang ada.
Penanan dan fungsi DPRD sebagai salah satu unsur pemerintah daerah sangat menentukan bagi terwujudnya penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga legislatif daerah, DPRD mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1.        Memilih Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
2.        Memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan daerah.
3.   Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/wakil gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
4.        Bersama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota membentuk Peraturan Daerah
5.        Bersama dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Darah.
6.        Melakukan pengawasan terhadap:
a.         pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lain,
b.         pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota,
c.         pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan belanja daerah,
d.        kebijakan pemerintah daerah, dan
e.         pelaksanaan kerja sama internasional di daerah,
f.  memberikan pendapat dan pertimbangan terhadap pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah, dan
g.         menampung dan menindak lanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan fungsi legislatifnya, baik dalam kedudukan sebagai wakil rakyat maupun sebagai wakil rakyat maupun sebagai unsur pemerintah daerah. DPRD meurut Undang-undang No. 22 tahun 1999 diberikan hakl-hak tertentu yaitu meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati dan Walikota, meminta keterangan kepada pemerintah daerah, mengadakan penyelidikan, mengadakan perubahan atas Rancangan Perda, mengajukan pernyataan pendapat, menentukan Anggaran Belanja DPRD, dan menetapkan peraturan dan tata tertib daerah.



Mekanisme Penyusunan Perda

Dalam rangka tertib administrasi dan  peningkatan kualitas produk hukum daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perda agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perda perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam Perda, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut ke dalam Perda secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya.
Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap,yaitu:
a.         Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft).
b.        Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.
c.         Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Ketiga proses pembentukan Perda tersebut selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.         Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD.
Berdasarkan amandemen I dan II Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang-Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang kekuasaan membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda. Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan Raperda atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau unit kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian Hukum.
b.        Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
Dalam proses penyiapan Perda yang berasal dari Pemerintah Daerah bisa dilihat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2006. Hasil penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Sekretaris Daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh Kepala Biro/Bagian Hukum dan pimpinan satuan perangkat daerah terkait. Pasal 10 : Produk hukum daerah berupa Rancangan Peraturan Daerah atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan. Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang dimaksud dengan Satuan Kerj Perangkat Daerah yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut.
Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh Sekretariat daerah mengenai urgensi, argumentasi dan pokokpokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan ke dalam Raperda tersebut maka Sekretariat Daerah akan mengambil keputusan dan menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat. Setelah itu satuan kerja perangkat daerah dapat mendelegasikan kepada Biro/Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan produk hukum daerah.
Penyusunan Perda/produk hukum daerah lainnya harus dilakukan melalui Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diketuai oleh pejabat pimpinan satuan kerja perangkat daerah yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro/Bagian Hukum sebagai sekretaris tim. Setelah pembahasan rancangan produk hukum selesai, pimpinan satuan kerja perangkat daerah akan menyampaikan kepada  Sekretaris Daerah melalui Kepala Biro/Bagian Hukum.Raperda yang telah melewati tahapan di atas akan disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan sekaligus menunjuk Wakil Pemerintah Daerah dalam Pembahasan Raperda tersebut.
c.         Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
Pembahasan Raperda di DPRD baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD, dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/ Walikota, Pemda membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris Daerah berada di Biro/Bagian Hukum. Tetapi biasanya pembahasan dilakukan melalui beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih detail mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing. Khusus untuk Raperda atas inisiatif DPRD, Kepala Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.
d.        Proses Pengesahan dan Pengundangan.
Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/ Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan. Penomoran Perda tersebut dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum. Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan menandatangani Perda tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan Biro/Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi da dokumentasi Perda tersebut.
Apabila masih ada kesalahan teknik penyusunan Perda, Sekretaris DPRD dengan persetujuan Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan Raperda yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah diserahkan kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah Perda diundangkan dan masih terdapat kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui Lembaran Daerah. Pemda wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar semua masyarakat di daerah setempat dan pihak terkait mengetahuinya.
e.         Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
Agar memiliki kekuatan hukum dan dapat mengikat masyarakat, Perda yang telah disahkan oleh Kepala Daerah harus diundangkan dalam Lembaran Daerah. Untuk menjaga keserasian dan keterkaitan Perda dengan penjelasannya, penjelasan atas Perda tersebut dicatat dalam Tambahan Lembaran Daerah dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda sebagaimana yang diundangkan di atas. Pejabat yang berwenang mengundangkan Perda tersebut adalah Sekretaris Daerah.

OTONOMI DAERAH, KEPEMILIKAN, PENGELOLAAN KEKAYAAN DAN PERIMBANGAN KEUANGAN



PENDAHULUAN
             Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai bagian kesatuan dari sistem pemerintahan nasional dilaksanakan melalui prinsip otonomi daerah, antara lain melalui pengaturan alokasi sumber daya negara yang dapat memberi kesempatan bagi peningkatan kinerja daerah dalam penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publiknya. Sebagai darerah otonom yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka kepadanya diberikan sumber-sumber pendapatan keuangan untuk dapat membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Pemberian sumber-sumber pendapatan dan keuangan dimaksud secara proporsional dapat diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah diperoleh berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Meskipun dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dianut asas desentralisasi yang membagi tugas dan wewenang kepada daerah, akan tetapi dalam konteks negara kesatuan tanggungjawab akhir terhadap kinerjanya tetap ada pada Pemerintah Pusat. Hal ini dapat dimengerti mengingat masing-masing daerah mempunyai karakteristik dan potensi yang berbeda-beda, sehingga peranan Pemerintah Pusat dalam memeratakan pembangunan sangat dibutuhkan, agar kesenjangan antara daerah dapat diperkecil. Pemerataan pembangunan yang merupakan salah satu prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan bertambah penting artinya agar supaya pertumbuhan masing-masing dan antar daerah dapat berkembang secara sinergis. Disamping itu, secara universal pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik, fungsi distribusi meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat serta aspek-aspek pemerataan, dan fungsi stabilisasi yang meliputi pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, karena pemerintah daerah merupakan instansi yang paling efektif mengetahui kebutuhan serta standard dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang diharapkan oleh masyarakat.
Maka setalah mempelajari Submodul 6 ini pembaca dapat memahami tentang:
1.        Otonomi daerah dan hak untuk memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas.
2.    Kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dari waktu ke waktu.





Otonomi Daerah dan Hak Memiliki & Mengelola Kekayaan Sendiri


Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah menuju kemandirian lokal, maka di dalam upaya mereform perundang-undangan tentang otonomi daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah membawa nuansa dan paradigma baru yang jauh berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya. Dengan demikian diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya, terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Sumber pembiayaan dalam rangka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sumber pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79 telah memberikan landasan yuridis tentang pemberian sumber pendapatan daerah dapat dibagi kedalam 4 golongan , yaitu :

1)      Pendapatan Asli Daerah, yaitu :
(a)    Hasil pajak daerah
(b)   Hasil retribusi daerah
(c)    Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan   daerah yang dipisahkan, dan
(d)   Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.
2)      Dana perimbangan
3)      Pinjaman Daerah, dan
4)      Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79).

1.   Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber-sumber yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya yaitu PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Untuk mendorong efisiensi, maka Undang-Undang mengenai pajak dan retribusi ini (dikenal sebagai Undang-Undang PDRB) memberikan suatu penyederhanaan atas banyaknya jenis pajak dan retribusi di masa lalu yang cenderung mengakibatkan timbulnya biaya ekonomi yang tinggi. Berdasarkan Undang-Undang ini, jumlah pajak dan retribusi daerah relatif  berkurang.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih belum diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi dikarenakan beberapa hal sebagai berikut :

a)      Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah;
b)      Peranannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah;
c)   Kemampuan perencanaan dan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah sehingga cenderung pemungutan pajak dibebani oleh biaya pungut yang besar.
d) Pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan penerimaan daerah mengalami kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
2.       Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaana APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya jumlah dana perimbangan ini ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Hal ini sejalan dengan tujuan pokok dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,   yaitu memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah ; menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan berupaya mewuijudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi daerah, mengurangi kesenjangan antara daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggungjawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Menyangkut soal dana perimbangan, ditetapkan atas dasar perhitungan prosentase tertentu dari seluruh realisasi penerimaan dalam negeri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 80, dana perimbangan terdiri dari :
a)     Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea  perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber  daya alam;
b)      Dana Alokasi Umum; dan
c)      Dana Alokasi Khusus.

a).  Bagi Hasil Penerimaan Negara
Bagi hasil penerimaan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan Pajak yang dikenakan atas Bumi dan Bangunan. Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Yang menjadi objek pajaknya adalah Bumi dan/atau bangunan. Pengertian Bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, sedangkan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dalam imbangan 10 % (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90 % (sembilan puluh persen) untuk Daerah. Selanjutnya 10 % (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagian pemerintah pusat sebagaimana pembagian diatas dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
Alokasi pembagian ini didasarkan atas realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun anggaran berjalan. Besarnya alokasi pembagian tersebut diatur sebagai berikut : Bahwa 65 % (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata dengan porsi yang sama besar kepada seluruh Kabupaten dan Kota, kemudian 35 % (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada Kabupaten dan Kota yang realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan perkotaan berhasil melampaui rencana penerimaan yang telah ditetapkan pada Tahun Anggaran sebelumnya.



Bea perolehyan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Tarif pajaknya adalah 5 % dari dasar pengenaan pajak yaitu Nilai Perolehan Objek Pajak. Perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Kemudian Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80 % (delapan puluh persen) untuk Daerah. Selanjutnya bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 80 % di atas di bagi untuk daerah dengahn rincian bahwa 16 % (enam belas persen) untuk daerah Provinsi yang bersangkutan disalurkan ke rekening Kas Daerah Provinsi, dan 64 % (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan ke rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota untuk pemerataan 10 % (sepuluh persen) dari penerimaan PBB dan 20 % (dua puluh persen) dari BPHTB.

Selanjutnya yang dimaksud dengan Bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian daerah dari penerimaan negara yang berasal dari pengtelolaan sumber daya alam, antara lain di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas bumi, kehutanan, dan perikanan. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80 % (delapan puluh persen) untuk Daerah.
Sedangkan Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :
a)      Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85 % (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah.

b)      Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70 % (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah.


Bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan yang diterima dari Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut :
1)      Sektor Kehutanan dibagi sebagai berikut :
a)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan dibagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
b)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Provinsi Sumber Daya Hutan di bagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen);
(c)    Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 32 % (tiga puluh dua persen).


2)      Sektor Pertambangan Umum dibagi sebagai berikut :
a)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) di bagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen)
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
b)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (royalty) dibagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen);
(c)    Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 32 % (tiga puluh dua persen).

3)      Sektor Perikanan
Sebanyak 80 % (delapan puluh persen) dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor perikanan terdiri dari :
a.       Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan
b.      Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Minyak Bumi diperinci sebagai berikut.
a)      Bagian Provinsi yang bersangkutan sebesar 3 % (tiga persen);
b)      Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 6 % (enam persen);
c)      Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen).
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Gas Alam dibagi dengan perincian sebagai berikut :
a)      Bagian Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen);
b)      Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12 % (dua belas persen);
c)      Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 12 % (dua belas persen).
Lebih jauh pengaturan kedua sumber Penerimaan Negara ini yang menjadi porsi Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota. Dengan perkataan lain bahwa secara nominal kedua sumber penerimaan ini seluruhnya milik daerah, walaupun ada intervensi Pemerintah Pusat dalam skala yang relatif kecil sebagai penyangga keseimbangan penerimaan antar daerah. Bagi hasil penerimaan negara dari sumber daya alam secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini :




Tabel 5.7. Persentase Alokasi Bagi Hasil Penerimaan dari Sumber Daya Alam.
Sumber Daya Alam
Pusat
Propinsi
Kab/Kota
Penghasil
Kab/Kota
Lainnya
Minyak
85 %
3 %
6 %
6 %
Gas Alam
70 %
6 %
12 %
12 %
Pertambangan Umum: Iuran Tetap (Land-rent)
20 %
16 %
64 %
0 %
Pertambangan Umum: Iuran Explorasi dan Exploitasi (Royalti)
20 %
16 %
32 %
32 %
Hutan: Iuran Hasil Pengusahaan Hutan (IHPH)
20 %
16 %
64 %

Hutan: Provinsi Sumber Daya Hutan (SDH)
20 %
16 %
32 %
32 %
Perikanan: Pungutan Pengusahaan dan Hasil Perikanan
20 %

80 %

Sumber: Undang-undang No.25 Tahun 1999

Sumber penerimaan daerah dari bagi hasil memang secara explisit telah ditujukan gambaran nominalnya dalam bentuk persentase. Berdasarkan rumusan yang demikian posisi masing-masing daerah otonom sebetulnya pada pengkajian terukur terhadap sumber-sumber penerimaan. Melalui gambaran demikian, paling tidak setelah diberlakukannya Undang-Undang secara langsung dapat terdeteksi konstribusi penerimaan daerah otonom dari sumber-sumber ini dalam konteks fiskal daerah. Lebih jauh yang menjadi pertanyaan adalah melalui prinsip alokasi dana berdasarkan daerah penghasil seperti itu tentu akan sangat bervariatif dampaknya kepada masing-masing daerah otonom. Daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang signifikan seperti Kalimantan Timur, Riau, Irian Jaya, Aceh, dan lainnya tentu akan memiliki alokasi yang besar yang memang telah dijaminkan dalam Undang-Undang persentase keberadaannya. Bagi daerah yang “kurang” potensi sumber daya alam memang akan berdampak cukup serius pada posisi fiskal daerah, khususnya dari sisi penerimaan (revenue side-nya). Melalui Undanag-Undang Nomor 25 Tahun 1999, kondisi yang demikian akan dikompensasi melalui dana perimbangan yang berupa alokasi umum, disamping juga dana alokasi khusus.



Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah


Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka Desentralisasi. Penggunaan Dana Alokasi umum ini ditetapkan sepenuhnya oleh daerah. Termasuk didalam pengertian pemerataan kemampuan keuangan daerah adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat, dan merupakan satu kesatuan dan penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Penggunaan Dana Alokasi Umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD, harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada Daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan dibidang kesehatan dan pendidikan.
Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.
Yang menjadi isu pokok dalam sistem alokasi dana perimbangan, sekaligus sebagai titik tolak yang sangat penting dari setiap bahasan materi dana perimbangan, adalah pada sistem yang kedua, yaitu bagaimana menentukan nilai besaran bobot daerah dalam memperoleh dana perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya untuk perimbangan dana Alokasi Umum untuk masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang dari Penerimaan dalam Negeri Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Secara operasional Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengamanatkan bahwa penentuan terhadap nilai besaran bobot daerah dilaksanakan berdasarkan hasil kajian empiris dengan memperhitungkan beberapa variabel-variabel yang relevan, antara lain adalah:
1.  Variabel Fiskal Needs, untuk kebutuhan wilayah otonomi, daerah dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan beberapa kelompok masyarakat miskin.
2.    Variabel Fiskal Capacity, potensi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima daerah seperti potensi industri, potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, dan Produk Domestik Bruto.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memang belum secara eksplisit mengatur bagaimana mekanisme detail sampai kebesaran nominal sistem alokasi dana ini. Pengalokasian dana alokasi umujm dilaksanakan melalui kajian empiris terhadap sistem pengalokasian sumber-sumber keuangan daerah dari dana perimbangan dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah serta penyelenggaraan pemerintahan daerah yang adil, rasional dan transparan, serta mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggungjawab otonominya serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan. Tujuan pengkajian adalah untuk menghimpun dan menganalisa data dan informasi tentang sejumlah kebutuhan dan potensi daerah sehingga dapat diperoleh rumusan empiris terhadap perhitungan bobot masing-masing daerah otonom (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam penerapan sistem pengalokasian dana perimbangan yang bersumber dari Alokasi Umum. Lebih jauh dari hasil kajian diharapkan tersusunnya suatu sistem pengalokasian dana perimbangan untuk Alokasi Umum untuk daerah yang adil, rasional, transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab (akuntabel) sehingga kesenjangan tingkat kemakmuran antar daerah (regional disparities) dapat diperkecil. Operasionalisasinya akan merupakan “PR” daerah dan pusat melalui Dewan pertimbangan Otonom Daerah (DPOD).
Penentuan nominal alokasi dana perimbangan untuk dana Alokasi Umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 telah dirumuskan sekurang-kurangnnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dari 25% tersebut untuk dana alokasi umum daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90%. Besaran nominal dari setiap masing-masing daerah akan berbeda. Perbedaan besaran tersebut ditentukan oleh nilai bobot daerah berdasarkan variabel-variabel kebutuhan dan potensi daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, perhitungan dana Alokasi Umum dapat diformulasikan secara umum dengan rumusan berikut ini.
Dana Alokasi Umum untuk satu Provinsi tertentu dihitung dengan cara berikut ini:
DAUP X bt.Px/bt Py, dimana
Jumlah dana alokasi umum untuk Daerah Provinsi dikalikan dengan bobot daerah Provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot dari seluruh Daerah Provinsi.
DAUP               : Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi (APBN)
Bt.Px                 : Bobot daerah Provinsi (x)
Bt.Py                 : Bobot dari seluruh Daerah Provinsi (y)
Melalui pendekatan yang sama, dana alokasi umum untuk satu Daerah Kabupaten/Kota tertentu dihitung dengan cara:
DAUK X bt.Kx/bt Ky, dimana
Jumlah dana alokasi umum untuk Daerah Kabupaten/Kota dikalikan dengan bobot daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot dari seluruh Daerah Kabupaten/Kota.
DAUK              : Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota (APBN)
Bt.Px                 : Bobot Daerah Kabupaten (x)
Bt.Py                 : Bobot dari seluruh Daerah Kabupaten (y)
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, Pengkajian Sistem Alokasi Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah selayaknya difokuskan untuk perimbangan pada Dana Alokasi Umum, yaitu melalui data time-series ekonomi dan keuangan daerah secara kuantitatif yang diambil dari masing-masing daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai gambaran empiris perhitungan, sehingga dapat disusun beberapa skenario besaran nilai “bobot daerah” dengan memperhitungkan variabel-variabelnya. Penentuan variabel Dana Alokasi Umum dalam kajian empiris yang seharusnya juga daerah berkonstribusi secara proaktif, antara lain meliputi:
1.      Data keadaan geografis daerah otonom
2.      Data keadaan perekonomian dan perkembangannya, terutama tentang rincian agregat Produk Domestik Regional Bruto (baik per-sektor maupun per-daerah) misalnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
3.   Data keadaan Pendapatan Asli Daerah dalam kurun waktu lima tahun terakhir, data keadaan luas wilayah, panjang jalan negara, panjang jalan Kabupaten/Kotamadya, jumlah pulau, dan data lainnya yang berkaitan dengan objek kajian.
4.   Data keadaan kependudukan/jumlah penduduk yang akan dikelompokkan dalam klasifikasi penduduk produktif dan non produktif serta tingkat pendapatan masyarakat dari sektor perekonomian antara lain industri dengan varian-variannya dan pertanian dalam arti luas dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
5.   Data jumlah wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten/Kotamadya, Kelurahan, Kecamatan dan Desa serta data lainnya yang berkaitan dengan wilayah yuridiksi daerah otonom.
Pengkajian seperti yang dipra-syaratkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 selayaknya menggunakan analisa empiris variabel penentu. Alokasi Umum Dana Perimbangan dari data time-series yang telah terkumpul pada tingkat daerah maupun pusat, yang diperhitungkan secara kuantitatif melalui gambaran tentang kebutuhan dan sumber potensi yang ada di daerah dalam hubungannya dengan dana perimbangan antara pusat dan daerah, serta menganalisis hasil perhitungan kebutuhan dan potensi daerah secara kuantitatif untuk menent ukan jumlah nilai besaran bobt daerah berdasarkan perhitungan variabel-variabel yang telah ditentukan. Data yang dibutuhkan untuk kegiatan pengkajian seperti ini mencakup data kondisi sosial ekonomi wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang akan dikumpulkan secara sekunder, melalui penggunaan publikasi-publikasi daerah dan nasional serta sumber lainnya yang dianggap relevan. Disamping data sekunder, untuk memperluas cakrawala rumusan, juga diperlukan data primer sebagai data analisis tentang persepsi “stake-holders” daerah dari objek kajian. Komponen keluaran yang harus ditargetkan paling tidak untuk kegiatan pengkajian sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 seperti yang telah diuraikan sebelumnya antara lain dapat diperinci sebagai berikut:
a.   Disain model perhitungan bobot besaran penentuan sistem Dana Perimbangan untuk Alokasi Umum masing-masing daerah ototnom (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
b.    Paket perhitungan aplikasi bobot besaran penentuan Dana Perimbangan untuk Alokasi Umum masing-masing daerah otonom (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai bahan masukan kebijakan bagi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, khususnya Sekretariat Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penetapan Alokasi Umum Dana Perimbangan untuk masing-masing daerah otonom.
c.   Paket-paket pemutakhiran model sebagai bagian dari kegiatan pengembangan yang akan dilakukan sebagai komponen keluaran lanjutan sebagai masukan pada tahun-tahun berikutnya bagi Dewan Pertimbangan Otonomi daerah yang membidani Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) berfungsi pemerataan antar Daerah dengan tujuan semua Daerah memiliki kemampuan yang relatif sama untuk membiayai pengeluarannya dalam pelaksanaan azas desentralisasi. Dana alokasi umum dialokasikan berdasarkan suatu rumus yang memasukkan unsur potensi penerimaan Daerah dan kebutuhan objektif pengeluaran Daerah, dan dengan memperhatikan ketersediaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah dana Alokasi Umum ditetapkan minimal 25 % (dua puluh lima persen) dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan ketentuan 90 % (sembilan puluh persen) untuk Kabupaten/Kota dan 10 % (sepuluh persen) untuk Provinsi. Perhitungan dana alokasi tersebut dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.
Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, disesuaikan dengan perubahan tersebut.
Dalam memperhitungkan dana alokasi umum untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota, akan digunakan kriteria potensi daerah dan kebutuhan objektif daerah. Kriteria daerah ditetapkan berdasarkan :
a)  Kebutuhan wilayah otonomi daerah paling tidak dapat dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin;
b)    Potensi Ekonomi Daerah antara lain dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima Daerah seperti potensi industri, potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Jadi Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan peerkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Provinsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan porsi Daerah Provinsi yang bersangkutan. Porsi Daerah Provinsi termaksud merupakan proporsi bobot daerah Provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Provinsi di seluruh Indonesia.
Hasil perhitungan Dana Alokasi Umum untuk tahun 2001 ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2001. Besarnya DAU daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/kota tahun anggaran 2001 adalah Rp.60.516,70 miliar.
Sedangkan tahun 2002 juga ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002. Besarnya DAU untuk tahun anggaran 2002 ditetapkan sebesar 25 % dari penerimaan Dalam Negeri APBN Tahun anggaran 2002 setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah.
Besarnya DAU daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota tahun anggaran 2002 adalah Rp. 69.114,12 miliar. Kemudian besarnya DAU Untuk Provinsi Sulawesi Selatan adalah Rp. 3.561,67 miliar, sedangkan untuk Kota Makassar sebesar Rp. 274.48 miliar, Kabupaten Gowa sebesar Rp.173,91 miliar, Kabupaten Maros sebesar Rp.127,5 miliar dan Kabupaten Enrekang sebesar Rp.101,97 miliar.

Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana  Alokasi Khusus (DAK) adalah dana perimbangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus atau kebutuhan tertentu. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
Dana Alokasi Khusus merupakan bagian dari dana perimbangan sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Yang dimaksudkan dengan Daerah tertentu adalah daerah-daerah yang mempunyai kebutuhan yang bersifat khusus. Pengalokasian Dana Alokasi Khusus memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN berarti bahwa besaran Dana Alokasi Khusus tidak dapat dipastikan setiap tahunnya.
Dengan demikian, sejalan dengan tujuan pokoknya dana perimbangan dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Pembiayaan kebutuhan khusus disyaratkan dana pendamping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kabutuhan khusus yang dimaksud disini adalah :
a)      Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus, antara lain kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain misalnya kebutuhan dikawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, misalnya pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan atau
b)      Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, termasuk antara lain proyek yang dibiayai donor, pembiayaan reboisasi Daerah dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Dana Alokasi Khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Dalam keadaan tertentu Dana Alokasi Khusus dapat membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 tahun.
Kriteria teknis sektor/kegiatan yajng dapat dibiayai dari Dana Alokasi Khusus ditetapkan oleh Menteri Teknis/instansi terkait setelah berkonsultasi dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Sektor/kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari Dana Alokasi Khusus adalah biaya administrasi, biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan pegawai daerah dan lain-lain biaya umum sejenis.
Penerimaan negara yang berasal dari Dana Reboisasi sebesar 40 % (empat puluh persen) disediakan kepada Daerah penghasil sebagai bagian Dana Alokasi Khusus untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Jumlah Dana Alokasi Khusus ditetapkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan masing-masing bidang pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Dana Alokasi Khusus dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan kegiatan, dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada Menteri Teknis oleh daerah tersebut dapat berbentuk rencana suatu proyek atau kegiatan tertentu, atau dapat berbentuk dokumen program rencana pengeluaran tahunan dan multi tahunan untuk sektor-sektor serta sumber-sumber pembiayaannya. Bentuk usulan daerah tersebut berpedoman pada kebijakan instansi teknis terkait, kecuali usuloan tentang proyek/kegiatan reboisasi yang dibiayai dari bagian dana reboisasi.
Bila sektor/kegiatan yang diusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan, daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengteluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan bangunan, Bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam, Dana Alokasi Umum, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oleh daerah.
Pembiayaan kebutuhan khusus memerlukan dana pendamping dari Penerimaan Umum APBD. Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut, perlu penyediaan dana dari sumber Penerimaan Umum APBD sebagai pendamping atas Dana Khusus dari APBN. Porsi dana pendamping ditetapkan sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh persen), kecuali pembiayaan kegiatan reboisasi yang berasal dari Dana Reboisasi.
Pengelolaan Dana Alokasi Khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional.
Menteri teknis/instansi terkait melakukan pemantauan dari segi teknis terhadap proyek/kegiatan yang dibiayai dari Dana Alokasi Khusus. Pemantauan Menteri Teknis/instansi terkait bertujuan untuk memastikan bahwa proyek/kegiatan yang dibiayai Dana Alokasi Khusus tersebut sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan. Pemeriksaan atas penggunaan Dana Alokasi Khusus oleh daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan alokasi Dana Alokasi Umum disesuaikan dengan proses penataan organisasi pemerintahan daerah dan proses pengalihan pegawai ke daerah.
Dalam masa peralihan, Dana Alokasi Umum dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan jumlah pegawai yang telah sepenuhnya menjadi beban daerah, baik pegawai yang telah berstatus sebagai pegawai daerah sebelum 1 januari 2001 maupun pegawai pemerintah pusat yang dialihkan menjadi pegawai daerah.

Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yangt mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan.
Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dana Pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan Daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengtan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
 Sebagaimana layaknya suatu daerah otonom, pinjaman daerah bukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 juga secara khusus mengindikasikan 5 pasal tentang hal ini yaitu pasal 11, 12, 13,14, dan 15. Sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. Pada prinsipnya daerah otonom dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri (pemerintah pusat, lembaga komersial, atau penerbitan obligasi daerah) untuk membiayai sebagian kebutuhan fiskalnya, sedangkan pinjaman dari sumber luar negeri diadministrasikan melalui Pemerintah Pusat.
Berdasarkan jenisnya pinjaman bisa dalam bentuk jangka panjang yang ditujukan untuk pembiayaan prasarana sebagai aset daerah yang berkaitan dengan pelayanan sektor publiknya. Pinjaman dalam bentuk jangka pendek dimungkinkan, khususnya untuk pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999  menetapkan bahwa Pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah nyang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkanpenerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas daerah.
Pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun-tahun berikutnya yang cukup berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat dae5rah dalam mengelola Pinjaman Daerah. Untuk meningkatkan kemampuan objektif dan disiplin Pemerintah Daerah dalakm melaksanakan pengembalian pinjaman, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan Pinjaman Daerah. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang menyangkut Pinjaman Daerah, dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekonomian nasional.
Pinjaman Daerah dapat bersumber dari :
1.  Pinjaman Daerah dari dalam negeri bersumber dari :
a.       Pemerintah Pusat. Ketentuan-ketentuan mengenai pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat seperti jenis, jangka waktu pinjaman, masa tenggang, tingkat bunga, pengadministrasi dan penyaluran dana pinjaman, ditetapkan oleh   Menteri  Keuangan.
b.      Lembaga Keuangan Bank. Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari lembaga Keuangan Bank mengikuti ketentuan peraturan perumdang-undangan yang berlaku.
c.   Lembaga Keungan bukan Bank. Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Lembaga Keungan bukan Bank menikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.  Masyarakat. Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat antara lain melalui penerbitan Obligasi Daerah. Pelaksanaan penerbitan dan pembayaran kembali Obligasi Daerah mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.    Sumber lainnya, Pinjaman Daerah selain sumber tersebut di atas, misalnya Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah lain.
2.  Pinjaman Daerah dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau pinjaman multilateral. Pinjaman daerah terdiri dari 2jenis yaitu Pinjaman jangka panjang dan pinjaman jangka pendek.
Penggunaan Pinjaman Daerah
a)  Pinjaman jangka panjang hanya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Yang dimaksud dengan “menghasilkan penerimaan”adalah hasil penerimaan yang berkaitan dengan pembangunan prasarana yang dibiayai dari pinjaman jangka panjang tersebut, baik yang langsung dan/atau yang tidak langsung.
b) Pinjaman jangka panjang tidak dapat digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan.
Daerah dapat melakukan pinjaman Jangka Pendek guna pengaturan kas dalam rangka pengelolaan kas daerah. Pinjaman Jangka Pendek dapat digunakan untuk:
a)  Membantu kelancaran arus kas untuk keperluan jangka pendek.
b) Dana talangan tahap awal suatu investasi yang akan dibiayai dengan Pinjaman Jangka Panjang, setelah ada kepastian tentang tersedianya Pinjaman Jangka Panjang yang bersangkutan.
Daerah dapat juga memperoleh dana darurat, yaitu dana yang dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk keperluan mendesak, misalnya jika terjadi bencana alam, dan sebagainya. Pengaturan lebih lanjut dari dana darurat ini dilakukan melalui peraturan pemerintah.
Dengan dialokasikannya dana yang lebih besar dan lebih pasti kepada daerah, diharapkan daerah akan lebih mampu untuk memacu pembangunan daerah, sehingga kesenjangan pertumbuhan antar daerah dapat dikurangi. Demikian pula, pembagian dana yang rasional dan adil pada daerah-daerah penghasil sumber utama penerimaan keuangan negara, akan lebih memeratakan pembangunan, mengurangi kesenjangan sosial, dan meredam ketidakpuasan daerah. Oleh karena itu, daerah akan lebih respek terhadap pusat, sehingga hubungan yang harmonis antara pusat dan daerah lebih meningkat, serta integrasi nasional akan lebih kuat.